masukkan script iklan disini
BAB IV
ANALISI IDDAH WANITA YANG DISETUBUHI SECARA SYUBHAT MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IMAM MALIKI
A. Pendapat Imam Syafi’I Mengenai Iddah Wanita Yang Disetubuhi Secara Syubhat.
العدة مدة تترببص فيها المرأة لمعرفة براءة رحمها او للتعبد او لتفجيعها علي زوج. وقد يقال أن وجوب العدة لإحترام علاقة الزوجية. والمراد بالمرأة الموطؤة بعقد صحيح او فاسد او بشبهة فإنها تجب عليها العدة لبراءة رحمها[1]. ومن شروط لإنقضاء العدة بوضع الحمل ان يكون الحمل منسوبا الي رجل له حق في العدة فدخل بذلك الوطء بالعقد الصحيح و الفاسد و الوطء بشبهة.[2]
Di atas telah disebutkan bahwa Imam Syafi’i mengartikan iddah sebagai masa untuk menunggu bagi seorang wanita untuk mengetahui kesucian rahimnya, untuk bertaabud (beribadah) atau untuk berduka karena ditinggal mati suaminya. Imam Syafi’i berpendapat bahwa diwajibkannya iddah ialah untuk menghormati علاقة الزوجية (sperma dari suami yang telah berubah menjadi darah bakal calon anak).
Imam Syafi’i mewajibkan iddah bagi wanita yang telah disetubuhi, baik dengan akad shaheh, yaitu pernikahan yang sah, akad fasid (rusak), yaitu pernikahan tanpa wali, tanpa saksi dan pernikahan yang berstatus sebagai muhrimnya dan persetubuhan yang terdapat syubhat di dalamnya.
Imam Syafi’i mensyaratkan untuk selesainya iddah dengan kelahiran, agar anak yang dikandungnya bernasab kepada laki-laki yang mempunyai hak dalam beriddah. Imam Syafi’i mengkategorikan laki-laki yang mempunyai hak dalam beriddah bagi persetubuhan dengan akad shaheh, akad fasid (rusak) dan persetubuhan yang terdapat syubhat di dalamnya.
a. Implementasi Iddah Wanita yang Disetubuhi Secara Syubhat
Iddah menurut Imam Syafi’i adalah
العدة مدة تتربص فيها المرأة لمعرفة براءة رحمها او للتعبد او لتفجيعها علي زوج
“Iddah adalah masa menunggu seorang wanita untuk mengetahui kesucian atau kekosongan rahimnya, bertabud (beribadah) atau untuk berduka karena ditinggal mati suaminya”.
Dari definisi tersebut, Imam Syafi’i mewajibkan iddah bagi wanita yang disetubuhi secara syubhat melalui perkataannya لمعرفة براءة رحمها. Dari alasan tersebut, Imam Syafi’i menyamakan iddah persetubuhan syubhat ini dengan iddah talak dalam keadaan hamil. Karena hal tersebut mempunyai kesamaan, yaitu adanya persetubuhan (wati’) yang telah dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tersebut sebagaimana terjadi antara suami dan istri.
b. Dasar hukum iddah persetubuhan syubhat
Persetubuha syubhat menurut Imam Syafi’i adalah persetubuhan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan, yang mereka menyangka bahwa itu adalah pasangannya tetapi sebenarnya bukan. Persetubuhan syubhat bukan termasuk zina menurut Imam Syafi’i, karena di antara keduanya mempunyai keyakinan bahwa itu adalah pasangannya dan berada pada tali pernikahan yang sah.
Apabila terjadi persetubuhan syubhat, Imam Syafi’i mewajibkan iddah kepada wanita tersebut untuk memastikan kesucian pada rahimnya. Hal ini berdasarkan perkataan Imam Syafi’i mengenai definisi iddah
العدة مدة تترببص فيها المرأة لمعرفة براءة رحمها
Artinya: “Iddah adalah masa menunggunya seorang wanita untuk mengetahui kesucian rahimnya”.
Dari pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa iddah wanita yang disetubuhi secara syubhat disamakan dengan wanita yang ditalak dalam keadaan hamil. Sebagaimana firman Allah SWT:
4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq
Artinya :“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. Al-Thalaq: 4)
Jika laki-laki yang menyetubuhinya meninggal dunia, maka sang wanita harus menjalani dua iddah (iddah hamil dan iddah ditinggal mati suaminya). Sebagaimana firman Allah SWT:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ( #sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& xsù yy$oYã_ ö/ä3øn=tæ $yJÏùz`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇËÌÍÈ
Artinya :“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari”. (QS. Al Baqarah: 234)
Dan perkataan Imam Syafi’i mengenai syarat iddah wanita yang hamil:
أن يكون الحمل منسوبا الي رجل له حق في العدة[3]
Artinya: “Agar ada yang dikandungnya bernasab kepada laki-laki yang mempunyai hak dalam beriddah”.
c. Syarat-syarat iddah persetubuhan syubhat
Dalam setiap pekerjaan dan perbuatan pasti memiliki syarat-syarat yang perlu dipenuhi yang akan menentukan sah tidaknya suatu pekerjaan. Karena makna syarat adalah:
ما يتوقف عليه صحة الشئ وليس جزء منه[4]
Artinya: “Sesuatu yang menentukan sah tidaknya pekerjaan dan sesuatu tersebut bukan bagian dari pekerjaan tersebut”.
Kemudian penulis mengkaitkan hal tersebut dengan iddah persetubuhan syubhat yang pastinya harus memiliki persyaratan-persyaratan, dalam artian apabila syarat tersebut tidak ada, maka sang wanita tidak diwajibkan untuk menjalani masa iddah.
Adapun syarat- syarat iddah persetubuhan syubhat menurut Imam Syafi’i adalah:
1) Terjadinya persetubuhan (wati’) di antara keduanya.
2) Adanya kesyubhatan dalam persetubuhan (wati’) yang dilakukan, baik dalam bentuk objek, dugaan pelaku, jihat dan aspek hukum.
3) Keduanya harus dalam keadaan berakal, karena orang yang gila tidak dibebankan hukum walaupun ia melakukan kesalahan. Rasulullah SAW bersabda:
رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتي تستيقظ وعن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يعقل (رواه ابو داود و الترمذي)[5]
Artinya: “Diangkatnya pena (untuk tidak mencatat kesalahan) dari tiga golongan, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia mimpi (baliq) dan dari orang gila sampai ia sembuh (HR. Abu Dawud dan Thirmidzi).
4) Baligh.
d. Tujuan iddah persetubuhan syubhat
Seperti halnya iddah-iddah yang lain, iddah persetubuhan syubhat juga memiliki tujuan. Karena tidak mungkin Allah SWT mewajibkan atas suatu perkara namun tidak memiki tujuan tersendiri. Adapun tujuan iddah persetubuhan syubhat adalah:
1) Untuk menjaga dan memelihara jika terdapat bayi di dalam kandungannya.
2) Menunaikan ibadah yang telah disyariatkan Allah SWT. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Imam Syafi’i tentang definisi iddah لمعرفة براءة رحمها او للتعبد (untuk mengetahui kesucian rahimnya atau untuk menunaikan ibadah).
3) Untuk menghormati persetubuhan yang dilakukan walaupun terdapat kekeliruan.
B. Pendapat Imam Maliki Mengenai Iddah Wanita Yang Disetubuhi Secara Syubhat.
العدة هي مدة يمتنع فيها الزواج بسبب طلاق المرأة او موت الزوج او فسخ النكاح.وذلك تعلم أن الوطء بالعقد الفاسد ووطء الشبهة ووطء الزنا لايوجب العدة بهذا المعني ولكن علي كل واحدة من هؤلاء سواء وطئت بزنا او بشبهة او بعقد فاسد او بإكراه ان تستبرئ رحمها بقدر العدة بدون فرق فهو استبراء قدر العقد[6]
Kalau Imam Syafi’i mendefinisikan iddah sebagai masa menunggu, Imam Maliki mengartikannya sebagai masa yang mencegah wanita untuk melangsungkan sebuah pernikahan setelah terjadinya talak, rusaknya pernikahan atau ditinggal mati suaminya.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Imam Maliki tidak mewajibkan iddah bagi wanita yang melakukan persetubuhan dengan akad yang fasid, adanya syubhat dan perzinahan.
Imam Maliki mengibaratkan syubhat sebagai sesuatu yang tidak disengaja. Apabila seseorang melakukan sesuatu dengan tidak sengaja, seperti seorang suami yang telah menceraikan istrinya dengan talak bain kemudian ia menyetubuhinya dalam keadaan lupa atau seorang suami yang hendak melakukan ritual bersama istrinya (jima’) kemudian ia salah menyetubuhi dan seseorang yang baru masuk Islam yang belum mengerti bahwa berzina itu haram. Itu semua masuk ke dalam golongan syubhat menurut Imam Maliki.
a. Implementasi iddah wanita yang disetubuhi secara syubhat
Menurut Imam Malik iddah adalah
العدة هي مدة يمتنع فيها الزواج بسبب طلاق المرأة او موت الزوج او فسخ النكاح
Artinya: “Masa yang mencegah seorang wanita untuk melangsungkan pernikahan dengan sebab talak, ditinggal mati suami atau rusaknya pernikahan”.
Dari definisi yang dikemukakan di atas, Imam Maliki tidak mewajibkan iddah bagi wanita yang disetubuhi (wati’) secara syubhat dan Imam Maliki mewajibkan iddah kepada seorang wanita yang sudah berada dalam tali pernikahan sehingga persetubuhan syubhat tidak terdapat tali pernikahan di dalamnya. Oleh karena itu, Imam Maliki menyamakan persetubuhan syubhat dengan zina. Wanita tersebut harus mensucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan iddah.
Apabila wanita yang bezina terkena hukuman had, maka wanita yang disetubuhi secara syubhatpun harus melaksanakan hukuman had. Akan tetapi, karena persetubuhan syubhat adalah persetubuhan yang keliru gugurlah hukuman hadd dengan alasan ketidak tahuan dari kedua belah pihak dan keyakinan yang ada dalam hati mereka bahwa itu adalah pasangannya.
b. Dasar hukum iddah persetubuhan syubhat
Imam Maliki dalam kasus iddah persetubuhan syubhat tidak mewajibkan kepada sang wanita untuk menjalani masa iddah, akan tetapi ia harus menunggu seukuran iddah. Sebagaimana perkataan Imam Maliki.
وذلك تعلم أن الوطء بالعقد الفاسد ووطء الشبهة ووطء الزنا لايوجب العدة بهذا المعني ولكن علي كل واحدة من ان تستبرئ رحمها بقدر العدة[7]
Artnya: “Dan dengan hal tersebut (definisi iddah di atas), diketahui bahwasannya persetubuhan (wati’) dengan akad yang rusak, persetubuhan syubhat dan persetubuhan zina tidak diwajibkan untuk beriddah dengan makna ini (definisi iddah di atas), akan tetapi salah satu dari setiap persetubuhan tersebut harus mensucikan rahimnya seperti ukuran iddah”.
Imam Maliki menyamakan iddah persetubuhan syubhat dengan zina sebagaimana yang dikemukakan Syeikh Kamil Muhammad Uwaidah:
“Zina adalah hubungan badan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan tanpa melalui pernikahan yang sah, baik melalui alat kelamin atau dubur”[8]
c. Syarat-syarat iddah persetubuhan syubhat
Adapun syarat-syarat iddah persetubuhan syubhat menurut Imam Maliki adalah seperti yang dikemukakan menurut Imam Syafi’i, antara lain:
1) Terjadinya persetubuhan (wati’) di antara keduanya.
2) Adanya kesyubhatan dalam persetubuhan (wati’) yang dilakukan, baik dalam bentuk objek, dugaan pelaku, jihat dan aspek hukum.
3) Berakal, dan
4) Baliq
d. Tujuan iddah persetubuhan syubhat
Karena Imam Maliki tidak mewajibkan iddah bagi wanita yang disetubuhi secara syubhat dan beliau hanya mengharuskan kepadanya untuk menunggu seukuran iddah, hal ini bertujuan untuk استبراء رحمها (mensucikan rahimnya). Karena persetubuhan adalah penyabab terbentuknya janin di dalam rahim seorang wanita, hal itu mengharuskan kepada sang wanita untuk menunggu seukuran iddah agar tidak terjadi ketidak jelasan nasab apabila ia ingin menikah.
C. Analisis Penulis Mengenai Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Maliki Tentang Iddah Wanita Yang Disetubuhi Secara Syubhat.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai iddah persetubuhan syubhat yang telah dikemukakan oleh Imam syafi’i dan Imam Maliki di atas, penulis menemukan beberapa perbedaan di antara keduanya.
Imam Syafi’i mewajibkan iddah bagi wanita yang disetubuhi secara syubhat dengan berdasarkan dalil mengenai salah satu tujuan dan hikmah diwajibkannya iddah kepada wanita, yaitu untuk mengetahui kesucian rahim dari sang wanita. Apabila hal tersebut dijalankan oleh sang wanita, maka hal itu dapat menghindari dari ketidak jelasan nasab bagi janin yang dikandungnya. Selain itu, Imam Syafi’i menyamakan iddah persetubuhan syubhat disini seperti halnya iddah wanita yang ditalak suaminya dalam keadaan hamil.
Sedangkan Imam Maliki tidak mewajibkan beriddah bagi wanita yang disetubuhi secara syubhat, karena menurut beliau hal tersebut sama seperti zina dan seharusnya hukuman hadd harus diberikan kepada sang pelaku, karena ada faktor kesyubhatanlah hukuman hadd dapat terlepas darinya. Namun Imam Maliki masih tetap mengharuskan menunggu kepada sang wanita sampai rahimnya benar-benar bersih dari janin.
Menurut pengamatan penulis Imam Syafi’i dan Imam Maliki sama-sama mengharuskan beriddah bagi wanita yang disetubuhi secara syubhat, tetapi Imam Sayfi’i lebih tegas dalam menghukumi permasalahan ini dengan mewajibkan menjalankan iddah bagi wanita yang disetubuhi secara syubhat dan itu merupakan pendapat yang palingrajeh (kuat).
Sedangkan Imam Maliki hanya mengharuskan menunggu seukuran iddah baginya dengan alasan untuk memastikan kebersihan rahim wanita tersebut. Menurut penulis pendapat Imam Maliki kurang rajeh (kuat), karena kalau hanya diharuskan saja kemungkinan untuk dijalankan sangat kecil sekali. Apalagi hal tersebut berhubungan dengan sunnah Rasulullah SAW, yaitu pernikahan. Rasululllah SAW bersabda
النكاح سنتى فمن رغب عن سنتى فليس منى
“Nikah adalah sunnahku, maka barangsiapa yang enggan akan sunnahku maka ia tidak termasuk golonganku”.
Pernikahan ialah jalan yang diperbolehkan oleh Islam untuk dapat melakukan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya, kalau seorang wanita yang disetubuhi secara syubhat hanya diharuskan saja untuk menunggu seukuran iddah hal ini agak sulit. Mungkin kita tahu bahwa wanita diberikan nafsu oleh Allah SWT lebih banyak dari pada laki-laki. Jadi apabila nafsu tersebut tidak dilampiaskan di jalan yang benar, maka akan berakibat pada sesuatu yang memudhorotkan.
Untuk syarat-syarat dari iddah persetubuhan syubhat menurut padangan Imam Sayfi’I dan Imam Maliki tidak ada perbedaan sedikitpun. Adapun syarat-syaratnya ialah:
1) Terjadinya persetubuhan (wati’) di antara keduanya.
2) Adanya kesyubhatan dalam persetubuhan (wati’) yang dilakukan, baik dalam bentuk objek, dugaan pelaku, jihat dan aspek hukum.
3) Berakal, dan
4) Baliq.
Mengenai relevansi iddah persetubuhan syubhat dari pandangan dua Imam ini, penulis lebih condong pada pendapat Imam Syafi’i sebab apabila hal tersebut diterapkan pada zaman sekarang yang rata-rata penduduknya ingin serba cepat dan instan serta ditambah kurangnya pengetahuan agama mereka, pendapat Imam Syafi’i sangatlah tepat dengan mewajibkan iddah bagi wanita yang disetubuhi secara syubhat. Dari kata wajib itulah yang membuat penulis sangat setuju, karena sesuatu yang wajib apabila tidak dilaksanakan, maka akan wajib pula hukuman bagi yang tidak melaksanakannya. Sebagaimana arti dari kata wajib:
الواجب ما يثاب علي فعله ويعاقب علي تركه
Artinya: “Wajib adalah suatu perkara yang diberikan pahala atas pelaksanaannya dan diberikan hukuman atas ditinggalkannya”.
Iddah persetubuhan syubhat yang telah dipaparkan Imam Syafi’i dan Imam Maliki mempunyai beberapa kontribusi, baik bagi sang wanita itu sendiri, laki-laki ataupun janin yang ada dalam rahimnya, di antaranya:
i. Seorang laki-laki dan perempuan dapat memahami betapa tegasnya ajaran Islam, hingga masalah yang tidak disengaja dan tidak diketahui seperti persetubuhan syubhat harus mendapatkan hukuman berupa iddah.
ii. Dengan adanya iddah (masa menunggu) terhadap seorang wanita yang disetubuhi secara syubhat dapat menghindari ketidak jelasan nasab bagi anak yang ada dalam rahimnya.
iii. Menjadikan suatu ladang amal bagi sang wanita ketika ia menjalani iddah, sebagaimana yang diutarakan oleh Imam Syafi’i.
[1] Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘ala alMazhab alArbaa’h, jilid. 4, (Daar alHadits), hal. 396
[2] Abdurrahman al-Jaziri, hal. 401
[3] Abdurrahman al-Jaziri, hal. 401
[4] Abdul Hamid Hakim, Mabada awaliyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 1
[5] Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi, Kasyifah as-Saja, (Haramein), hal. 16
[6] Abdurrahman al-Jaziri, hal. 395
[7] Abdurrahman al-Jaziri, hal. 396
[8] Syeikh Kamil Muhammad Uwaidah, hal. 601