masukkan script iklan disini
KETENTUAN MAHAR MITSIL
MAHAR MITSIL adalah mahar yang menjadi ukuran keluarga mempelai wanita yang dijadikan standar dalam akad nikah tak dikemukakan maharnya, atau dalam kasus lainnya.
Dalam fikih dan juga telah dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa mahar atau maskawin bisa disebutkan dalam akad atau tidak. Jika disebutkan dalam akad nikah maka mahar itu disebut musamma. Dan jika tidak, maka dikenakan mahar mitsil.
Mahar mistil adalah ketetuan jumlah mahar yang ditetapkan besarannya oleh pihak wanita berdasarkan adat yang berlaku di lingkungannya atau keluarganya. Di beberapa negara Arab, antara lain Arab Saudi, mahar menjadi mahal karena dikaitkan juga dengan status sosial wanita. Semakin tinggi status sosial, misalnya keluarga kerajaan, bisa jadi maharnya mencapai 1 juta Riyal atau Rp 3 milyar, atau bahkan lebih.
Tapi, untuk orang kebanyakan, mahar di Saudi antara 1,000 (sekitar Rp 3 juta) dan 10.000 Riyal (atau sekitar Rp 30 juta). Karena itu angka perkawinan di beberapa negara Arab, termasuk Arab Saudi sangat kecil karena keharusan pemenuhan mahar yang tinggi, meskipun kini banyak lembaga sosial yang membantu perkawinan lajang, baik dengan pinjaman dengan angsuran tanpa bunga atau sedekah dari kalangan berduit.
Bagaimana menentukan kadar dan besaran mahar mitsil? Menurut Mazhab Hanafi, mahar mitsil ditentukan melalui standar atau pasaran keluarga ayahnya, bibi (adik ayahnya) dan seterusnya. Mazhab ini tak mengacu pada standar dari pihak ibunya dan kerabat ibu. Juga ditinjau dari sudut kebiasaan negara itu dan waktu. Mahar tahun ini tidak bisa mengikuti standar 10 tahun yang lalu. Jika tak ditemukan dalam keluarga ayahnya, maka dicari dari lingkungan sosial ayahnya.
Mazhab Hanbali menetapkan stadar mahar mitsil dari kedua belah pihak, baik dari keluarga ayah atau keluarga ibu pengantin wanita dengan mengacu kepada keluarga yang paling dekat. Mazhab Syafi’i berpegangan pada keluarga terdekat dengan memprioritaskan pada keluarga ayah. Jika kemudian tak ditemukan maka beralih pada keluarga ibu. Jika tak ditemukan juga maka disetarakan dengan wanita di lingkungannya atau daerahnya.
Sementara mazhab Maliki melihatnya dari lingkungan keluarga terdekatnya dengan memperhatikan beberapa kesamaan dan kemiripan pada keunggulan yang dimiliki wanita. Misalnya kecantikan, dicari padanan dari kalangan keluarga yang memiliki kesamaan dari sudut kecantikan. Atau, dari sudut pengetahuannya (pendidikan), kekayaan atau hartanya. Namun, hal ini biasanya diukur dan dimiliki oleh saudara kandung, bukan ibu, bibi, dan lain sebagainya yang tidak lagi dianggap sebanding (liannahumma qad yakunani min qawmin akharin).
Menurut pandangan mazhab Hanbali, jika di lingkungan keluarga itu terbiasa mengenakan mahar yang rendah, maka kerendahan mahar bisa menjadi prioritas dan acuan. Adat dan kebiasaan suatu masyarakat harus dihormati karena adat juga bisa menjadi hukum.
Penetapan mahar mitsil ini, menurut pandangan mazhab Hanafi yang bisa dijadikan pegangan adalah ketentuan yang disaksikan dua orang lak-laki, dua orang perempuan yang terlibat atau yang menyaksikan, dan masing-masing melakakukan kesaksian (lafdzusy syahadah). Jika kemudian tak ditemukan saksi yang dianggap adil, maka ketentuan mahar mitsil didasarkan pada sumpah suami.
Mahar mitsil bisa juga ditentukan melalui pengadilan dan putusan pemerintah jika terjadi jalan buntu. Penyelesaian perselisihan tentang mahar baik mengenai jenis maupun nilainya dapat diajukan ke pengadilan agama. Seperti disebutkan dalam KHI, ”Penyelesaian perselisihan tentang mahar baik mengenai jenis maupun nilainya dapat diajukan ke pengadilan agama.”
Namun, jika mengacu pada hukum Islam, mahar janganlah memberatan. Dalam KHI disebutkan: ”Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.”
(Bahan: Bidayatul Mujtahid oleh Imam Muhammad ibnu Rusyd Al-Qurthubi, Al-Fiqh ’ala Madzahibil Arba’ah oleh Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Syaikh Wahbab Azzuhaily, dan Fiqhuz zawaj oleh Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan).