masukkan script iklan disini
Wali
Songo: Antara Mitos dan Logos
Oleh:
Rohmatul Izad
Pada Mulanya
Proses masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara
merupakan salah satu peristiwa sejarah terpenting, tetapi sekaligus yang paling
tidak jelas dan membingungkan. Mengingat sumber-sumber otentik tentang sejarah
Islam di Nusantara tidak banyak ditulis, para ahli sejarah pada akhirnya banyak
melakukan spekulasi dan dugaan-dugaan yang umumnya tidak dapat
dipertanggungjawabkan.Tetapi kemudian, ini bukanlah realitas terakhir dan pahit
yang dihadapi oleh para pakar sejarawan Nusantara.Banyak usaha yang telah
dilakukan untuk melakukan rekonstrusi kembali terhadap peristiwa-peristiwa
penting dalam konteks sejarah Islam di Nusantara. Sehingga dapat dimungkinkan
akan ditemukan angin segar yang tertiup dari puing-puing dan serpihan-serpihan
gelap dari lubang hitam yang telah terkubur lama.
Konteks sejarah yang paling teoritis menunjukan
bahwa ada empat teori yang paling poluper tentang proses masuknya Islam di
Nusantara.Pertama, India termasuk
diantaranya dari daerah Gujarat, Malabar, Coromandel, dan Bengal, teori ini
didasarkan pada asumsi bahwa ada kesamaan Mazhab Syafi’i, kesamaan batu nisan,
serta kemiripan sejumlah tradisi dan arsitektur India dengan Nusantara. Kedua, dari Arab sekitar Mesir dan
Yaman, alasan teori ini didasarkan pada kesamaan mazhab yang dianut di Mesir
dan Yaman dengan mazhab yang dianut di Nusantara.
Ketiga,
Persia daerah Kasan, Abarkukh, dan Lorestan, teori ini didasarkan pada adanya
kesamaan pada sejumlah tradisi keagamaan Persia dengan Nusantara, seperti
peringatan Asyura 10 Muharram, sistem pengejaan huruf Arab dalam pengajaran
al-Qur’an khas Persia untuk menyebut tanda bunyi harakat seperti jabar (vocal
“a” atau fathah) jer atau zher (vocal “i” atau kasrah ) pes atau fyes (vocal
“u” atau dhammah, huruf sin tanpa gigi, serta pemuliaan ahlul bait dari
keluarga Ali bin Abi Thalib, dan sebagainya. Keempat, dari Cina, teori ini didasarkan pada asumsi adanya unsur
kebudayaan Cina dalam sejumlah unsur kebudayaan Islam di Nusantara, termasuk
berdasarkan sumber kronik dari Klenteng Sampokong.
Teori-teori di atas tidaklah bersifat baku dan sama
sekali tidak terjadi pematenan untuk menetapkan kebenarannya secara absolut,
ini hanyalah ihtiyar dari para peneliti dan sejarawan untuk menemukan mata
rantai yang hilang, serta sedikit memantik rasa gairah intelektual para peminat
sejarah.
Menurut catatan dari Dinasi Tang Cina, Islam sudah
masuk ke bumi Nusantara pada tahun 674, yang dibawa oleh para saudagar asal
Timur Tengah yang mula-mula mereka juga singgah ke Cina. Ini merupakan awal
mula masuknya Islam di Nusantara, betapapun tidak ada data yang mendukung
apakah para saudagar ini melakukan dakwah Islam kepada penduduk pribumi, tetapi
faktanya masyarakat pribumi belum ada satupun yang masuk Islam.Hingga beberapa
abad kemudian tidak ada data yang dapat ditulis tentang status dan kondisi
masyarakat yang terdapat di Nusantara.
Sekitar abad ke sepuluh masehi, catatan sejarah
menunjukkan bahwa seorang raja dari Persia mengutus dua puluh ribu rakyatnya
yang beragama Islam menuju Nusantara, tetapi dalam perjalanan sebagian besar
dari mereka mati terbunuh dan hanya menyisakan dua ratus orang saja-kira-kira
hanya 1% dari jumlah pertama-. Raja Persia tersebut dikabarkan marah lalu
mengutus kembali orang-orang pilihan diantaranya para ulama, ahli kedikjayaan,
dan lain sebagainya.
Dari sekian banyak utusan kedua itu, yang paling
populer adalah syeh Subakhir yang dikabarkan melakukan pembersihan makhuk halus
di pulai jawa, guna mengusir roh-roh halus, yang tampaknya hal ini juga terkait
dengan misi dakwah agar dapat dilakukan dengan baik.Hingga beberapa waktu
kemudian setelah misi syeh Subakhir selesai, beliau kembali lagi ke Persia.
Ada satu kesimpulan bahwa ditemukannya makam Fatimah
binti Maimun yang terdapat di daerah Leran Gresik juga merupakan bagian dari
komunitas masyarakat muslim pendatang baru ke Nusantara, yakni saat penduduk
Persia melakukan perantauan ke Nusantara. Jika ditinjau dari segi doktrinasi
dan normatifitas agama, jelas bahwa misi mereka adalah dakwah dan mungkin juga
ingin memulai hidup baru dengan nuansa yang berbeda, karena tidak ada data
sejarah yang dapat dirujuk secara lebih tentang bagaimana kehidupan mereka
selanjutnya, hingga datanglah Marcopolo pada tahun 1292.
Marcopolo mencatat bahwa pada tahun 1292, masyarakat
yang terdapat di bumi Nusantara terdapat tiga jenis golongan dalam sistem
keyakinan mereka.Diantaranya, terdapat masyarakat Cina yang beragama Islam,
masyarakat dari Persia-Arab yang juga menganut Islam (disebut masyarakat
Barat-maksudnya Baratnya Cina), selanjutnya yang ketiga adalah penduduka
pribumi yang masih menganut keyakinan kuno.Perlu dicatat bahwa perjalanan
Marcopolo ini satu tahun sebelum kerajaan Majapahit berdiri.
Hingga sampai seratus tahun kemudian, datanglah
Laksamana Ceng Ho bersama rombongan kapalnya di pantai Tuban. Dalam catatan
Ceng Ho disebutkan bahwa di Tuban terdapat seribu keluarga Cina yang beragama
Islam, data statistik ini juga sama dengan yang ia temukan di Gresik dan Surabaya.
Selanjutnya dikatakan bahwa semua penduduk pribumi yang terdapat di Tuban,
Gresik, dan Surabaya keyakinan mereka masih dianggap “Kafir”.Catatan ini
kemudian menjadi selaras dengan yang telah ditulis oleh Marcopolo seratus tahun
kemudian, betapapun menyisakan berbedaan yang cukup tajam dan kondisi tempat
yang berbeda.
Kunjungan Laksamana Ceng Ho yang terakhir jatuh pada
tahun 1433, Ceng Ho bersama juru tulisnya bernama Ma Huan memiliki catatan yang
hampir serupa sebagaimana kunjungan pertamanya di pulau Jawa. Peristiwa ini
menjadi titik balik yang penting ketika melihat bahwa-sebagaimana yang telah
ditulis lebih awal-pada tahun 674 masyarakat pribumi telah melakukan interaksi
sosial dan ekonomi dengan para saudagar dari Arab, ini artinya bahwa selama kurang
lebih delapan abad-sejak abad ke tujuh hingga lima belas masehi-penduduk
pribumi masih belum menganut Islam.
Inilah konteks kenyataan sejarah yang perlu
diketahui dan direnungkan oleh siapapun, bahwa tampaknya Islam tidak serta
merta mudah diterima oleh penduduk lokal, butuh proses dan waktu yang cukup
panjang hingga akhirnya baru menemukan cara-cara yang lebih luwes, santun dan
mudah diterima, sesuai dengan kondisi psikologi agama para penduduk pribumi dan
pada umumnya penduduk di seluruh Nusantara.Inilah pekerjaan rumah yang perlu
dirumuskan oleh generasi pendakwah selanjutnya, dengan meningkatkan daya
kreatifitas yang tinggi dan melakukannya dengan jalur akulturasi yang membumi.
Era Walisongo
Pada tahun 1440, Maulana as-Samarkandi bersama dua
orang anaknya bernama Ali Rahmat dan Ali Murtla (Ali Murtadho, kakak dari Ali
Rahmat), serta satu saudaranya bernama Abu Hurairah singgah ke wilayah Tuban.
Tujuan mereka ke pulai Jawa tidak lain adalah untuk mengunjungi Bibi dari Ali
Rahmat dan Ali Murtla dari jalur ibu asal Campa yang dinikahi oleh raja
Majapahit yang saat itu berkuasa. Tetapi setelah peristiwa wafatnya Maulana
as-Marakandy, akhirnya Ali Rahmat dan Ali Murtla memberanikan diri untuk datang
ke Majapahit guna kunjungan silaturahim antar keluarga.
Pada saat Ali Rahmat dan Ali Murthla pertama kali
mengunjungi kerajaan, kementrian agama di kerajaan itu hanya ada dua. Pertama
adalah meteri yang khusus mengurusi masalah-masalah agama Hindu-Budha dan satu
lagi mentri yang berwenang dalam mengurusi agama penduduk pribumi, karena Ali
Rahmat dan Ali Murthla telah menjadi dan dianggap sebagai bagian dari keluarga
kerajaan, maka Ali Murthla diberi jabatan keagamaan dan memiliki kekuasaan di
Gresik (kemudian hari terkenal dengan sunan Gresik) sementara Ali Rahmat diberi
wewenang menjadi Imam masjid dan mengurusi masyarakat muslim Cina dan
masyarakat muslim lainnya di Surabaya (merupakan jabatan yang prestisius dan
membutuhkan kompetensi yang tinggi).
Hingga beberapa waktu kemudian dikisahkan Ali Rahmat
menikah dengan Nyai Ageng Manila, putrid dari Arya Teja dari Tuban. Sementara
itu, ada sumber lain yang menuturkan bahwa Ali Rahmat adalah bupati pertama
Surabaya. Terlepas dari kebenaran fakta itu, yang jelas Ali Rahmat memulai
dakwahnya yang pertama di wilayah Surabaya, sebagaimana kewajiban seorang
muslim untuk berdakwah di jalan yang benar. Nabi sendiri telah bersabda
“Sampaikan apa yang bersumber dariku walaupun satu ayat”.
Di Surabaya, Ali Rahmat mendirikan sebuah padepokan di
mana ia mulai berdakwah, mengajar, dan mendidik para santri yang menimba ilmu
di sana. Dalam Babad Tanah Djawi digambarkan bahwa selain mengajari
murid-muridnya membaca al-Qur’an, Ali Rahmat juga mengajari mereka kitab-kitab
tentang ilmu syariat, tarikat, dan ilmu hakikat, baik lafal maupun makna.Ali
Rahmad juga digambarkan mencontohkan kehidupan yang zuhud (meninggalkan urusan
duniawi) dengan melakukan riyadhah ketat. Dalam Babad Demak terdapat juga
gambaran bagaimana Ali Rahmat (Sunan Ampel) memberikan ajaran yang bersifat
esoteric kepada Raden Paku (tak lain adalah Sunan Giri dari Gresik), yaitu ilmu
tasawuf yang didasarkan pada ilmu qalbu.
Sebagaimana tercatat dalam historiografi dan kisah
legenda jawa lainnya, Ali Rahmat yang mashur disebut Sunan Ampel berasal dari
negeri Champa. Menurut S.Q. Fatimy, mazhab orang-orang Champa beraliran Syiah.
Namun, sebagian besar orang-orang Champa telah kehilangan orientasi dan
mengalami diskontiunitas sejarah sehingga tidak mentehaui lagi secara benar
jika Islam yang mereka jalankan adalah Islam pengaruh Syiah, terutama Syiah
Zaidiyah. Sunyoto sendiri menuturkan bahwa pengaruh Champa di wilayah dakwah
Sunan Ampel sangat terlihat jelas, misalnya dalam hal upacara peringatan orang
mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100 dan ke-1000, termasuk tradisi haul,
talqin, adalah tradisi khas Champa yang jelas-jelas terpengaruh paham Syiah
Zaidiyah. Dan masih banyak lagi pengaruh tradisi Islam Champa yang melatari
dakwah Islam Sunan Ampel.
Islam yang berkembang di Jawa karena perjuangan
Sunan Ampel dan para penyebar Islam abad ke-15 dan ke-16 adalah Islam yang
unik. Sebab, ia merupakan akulturasi dan asimilasi dari aspek budaya pra-Islam
dengan Islam, baik melalui jalur sosial, budaya, politik, ekonomi, mistik,
kultur, ritual, tradisi keagamaan, maupun konsep-konsep sufisme yang khas, yang
merefleksikan keragaman tradisi muslim secara keseluruhan. Dalam konteks
akulturasi dan asimilasi itulah, pengaruh tradisi keagamaan muslim Champa
menjadi dominan dalam mewakili unsur sosio-kultural-religius dibanding pengaruh
tradisi keagamaan muslim dari tempat lain.
Sementara itu, dari seluruh jajaran Walisongo yang
tersohor dan legendaris, tampaknya Sunan Bonang dan Sunan Drajat (adik dari
Sunan Bonang) memiliki hubungan yang dekat serta klimaks dengan Sunan Ampel,
mereka tak lain adalah putra-putra Sunan Ampel hasil pernikahannya dengan Nyai
Ageng Manila dari Tuban.Sunan Bonang dikenal sebagai tokoh Walisongo yang ulung
dalama berdakwah dan menguasai berbagai ilmu kesaktian dan kedigdayaan, serta
sangat menguasai ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan
lain sebagainya.
Sementara itu, Sunan Drajat dikenal dengan salah
satu jajaran Walisongo yang mengembangkan dakwah melalui jalur pendidikan
akhlak bagi masyarakat. Sebagaimana Sunan Bonang, oleh karena ibunya berasal
dari keluarga Bupati Tuban, Sunan Drajat dididik dalam lingkungan keluarga
ibunya yang jawa. Sehingga pengetahuannya tentang seni, bahasa, budaya, sastra,
dan agama lebih bercorak Jawa.
Selain daripada itu, jejeran para Walisongo lainnya
yang paling populer dan dominan diantaranya adalah Sunan Kalijaga, Sunan Giri,
Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Datuk Abdul Jalil (yang lebih kenal dengan
sebutan syeh Lemah Abang atau syeh Siti Jenar yang sangat populer dan
controversial dengan ajarana-ajaran tasawufnya yang agak aneh dan membumi).
Meski kenyataannya Sunan Muria adalah yang paling muda, tetapi pada masanya,
yakni sekitar abad ke-15 jajaran Walisongo mampu membentuk jaringan keulamaan
dan dakwah yang meluas dan mengalami begitu cepat proses Islamisasi selama
kurang lebih lima puluh tahun terakhir.
Ini merupakan pertanda bahwa sistem dakwah mereka
memang menggunakan cara-cara yang mudah diterima sebagaimana diungkapkan dimuka
bahwa jalur akulturasi dan asimilasi ternyata begitu cocok dan mewarnahi
kemudahan demi kemudahan segala apske dakwah yang dilakukan oleh Walisongo yang
faktanya sudah tidak dapat dibantah lagi oleh ahli sejarah manapun, mungkin
hanya sebagian saja yang masing disebut amatir.
Hingga saat ini, pengaruh Walisongo dalam melakukan
proses Islamisasi dibumi Nusantara masih begitu tampak dirasakan, jika tanpa
Walisongo yang begitu mengagumkan, boleh jadi kondisi keagamaan masyarakat
dewasa ini masih menganut keyakinan lama, baik Hindu-Budha, Kapitayan, Sunda
Wiwitan dan jenis keyakinan kuno lainnya yang masih sangat primitif dan corak
Animisme dan Dinamisme masih sangat terlihat, sebagaimana ungkap para
orientalis yang baik.
Sungguh ini merupakan kisah faktual yang perlu
menjadi teladan bagi generasi hari ini, betapapun kondisi sosial dan
kontekstualitasnya sudah berbeda antara era Walisongo dan era Ustadz pendakwah
elektronik seperti ustadz seleb dan lain-lainnya, paling tidak keteladan mereka
dalam menjaga falsafah keselarasan hidup dan penanaman sikap yang penuh
bijaksana dan santun perlu menjadi teladan dan pembelajaran bagi kita semua.
Proses dakwah yang begitu cepat dan meluas-yang
tampaknya tidak masuk akal-yang dilakukan oleh Walisongo tak lain menggunakan
jalur-jalur dakwah sebagaimana yang dikatakan di muka, hal ini telah menjawab
pertanyaan besar yang tampaknya mewarnai keragu-raguan para pengamat bahwa
mengapa proses yang begitu cepat ini, kira-kira dalam tempo lima puluh tahun,
penduduk pribumi secara mayoritas mampu memeluk Islam secara masif, yang jauh
berbeda dengan kondisi antara abad ke-7 sampai abad ke-14 yang dalam rentang
waktu delapan abad lamanya penduduk pribumi masih belum menganut Islam ,
padahal telah banyak masyarakat asing yang tinggal di Nusantara yang telah
memeluk Islam terlebih daluhu, sebagaimana orang-orang dari Persia, Cina, dan
Arab (semoga semuanya masuk Surga, Amien).
Bacaan Lebih Lanjut
Agus
Sunyoto. Atlas Walisongo. Jakarta:
Pustaka IIMan, 2014.
Asy-Syahrastani.Al-Milal Wa Al-Nihal. Surabaya: Bina
Putra, tt.
Bibit
Suprapto. Ensiklopedi Ulama Nusantara.
Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009.
M.C.
Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern
1200-2004. Jakarta: Serambi, 2001.
Slamet
Muljana. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa
dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2009.
Agussalim
Sitompul. Usaha-Usaha Mendirikan Negara
Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta: Misaka Galiza,
2008.