PONDOK PESANTREN AL-QODIRI 1 JEMBER

LEMBAGA PENDIDIKAN BERBASIS PESANTREN

Ketik Kata Kunci

WALI SONGO : Antara Mitos dan Logos

Kamis, 14 Desember 2017, Kamis, Desember 14, 2017 WIB Last Updated 2017-12-14T13:24:13Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

Wali Songo: Antara Mitos dan Logos
Oleh: Rohmatul Izad
Pada Mulanya
Proses masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara merupakan salah satu peristiwa sejarah terpenting, tetapi sekaligus yang paling tidak jelas dan membingungkan. Mengingat sumber-sumber otentik tentang sejarah Islam di Nusantara tidak banyak ditulis, para ahli sejarah pada akhirnya banyak melakukan spekulasi dan dugaan-dugaan yang umumnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.Tetapi kemudian, ini bukanlah realitas terakhir dan pahit yang dihadapi oleh para pakar sejarawan Nusantara.Banyak usaha yang telah dilakukan untuk melakukan rekonstrusi kembali terhadap peristiwa-peristiwa penting dalam konteks sejarah Islam di Nusantara. Sehingga dapat dimungkinkan akan ditemukan angin segar yang tertiup dari puing-puing dan serpihan-serpihan gelap dari lubang hitam yang telah terkubur lama.
Konteks sejarah yang paling teoritis menunjukan bahwa ada empat teori yang paling poluper tentang proses masuknya Islam di Nusantara.Pertama, India termasuk diantaranya dari daerah Gujarat, Malabar, Coromandel, dan Bengal, teori ini didasarkan pada asumsi bahwa ada kesamaan Mazhab Syafi’i, kesamaan batu nisan, serta kemiripan sejumlah tradisi dan arsitektur India dengan Nusantara. Kedua, dari Arab sekitar Mesir dan Yaman, alasan teori ini didasarkan pada kesamaan mazhab yang dianut di Mesir dan Yaman dengan mazhab yang dianut di Nusantara.
Ketiga, Persia daerah Kasan, Abarkukh, dan Lorestan, teori ini didasarkan pada adanya kesamaan pada sejumlah tradisi keagamaan Persia dengan Nusantara, seperti peringatan Asyura 10 Muharram, sistem pengejaan huruf Arab dalam pengajaran al-Qur’an khas Persia untuk menyebut tanda bunyi harakat seperti jabar (vocal “a” atau fathah) jer atau zher (vocal “i” atau kasrah ) pes atau fyes (vocal “u” atau dhammah, huruf sin tanpa gigi, serta pemuliaan ahlul bait dari keluarga Ali bin Abi Thalib, dan sebagainya. Keempat, dari Cina, teori ini didasarkan pada asumsi adanya unsur kebudayaan Cina dalam sejumlah unsur kebudayaan Islam di Nusantara, termasuk berdasarkan sumber kronik dari Klenteng Sampokong.
Teori-teori di atas tidaklah bersifat baku dan sama sekali tidak terjadi pematenan untuk menetapkan kebenarannya secara absolut, ini hanyalah ihtiyar dari para peneliti dan sejarawan untuk menemukan mata rantai yang hilang, serta sedikit memantik rasa gairah intelektual para peminat sejarah.
Menurut catatan dari Dinasi Tang Cina, Islam sudah masuk ke bumi Nusantara pada tahun 674, yang dibawa oleh para saudagar asal Timur Tengah yang mula-mula mereka juga singgah ke Cina. Ini merupakan awal mula masuknya Islam di Nusantara, betapapun tidak ada data yang mendukung apakah para saudagar ini melakukan dakwah Islam kepada penduduk pribumi, tetapi faktanya masyarakat pribumi belum ada satupun yang masuk Islam.Hingga beberapa abad kemudian tidak ada data yang dapat ditulis tentang status dan kondisi masyarakat yang terdapat di Nusantara.
Sekitar abad ke sepuluh masehi, catatan sejarah menunjukkan bahwa seorang raja dari Persia mengutus dua puluh ribu rakyatnya yang beragama Islam menuju Nusantara, tetapi dalam perjalanan sebagian besar dari mereka mati terbunuh dan hanya menyisakan dua ratus orang saja-kira-kira hanya 1% dari jumlah pertama-. Raja Persia tersebut dikabarkan marah lalu mengutus kembali orang-orang pilihan diantaranya para ulama, ahli kedikjayaan, dan lain sebagainya.
Dari sekian banyak utusan kedua itu, yang paling populer adalah syeh Subakhir yang dikabarkan melakukan pembersihan makhuk halus di pulai jawa, guna mengusir roh-roh halus, yang tampaknya hal ini juga terkait dengan misi dakwah agar dapat dilakukan dengan baik.Hingga beberapa waktu kemudian setelah misi syeh Subakhir selesai, beliau kembali lagi ke Persia.
Ada satu kesimpulan bahwa ditemukannya makam Fatimah binti Maimun yang terdapat di daerah Leran Gresik juga merupakan bagian dari komunitas masyarakat muslim pendatang baru ke Nusantara, yakni saat penduduk Persia melakukan perantauan ke Nusantara. Jika ditinjau dari segi doktrinasi dan normatifitas agama, jelas bahwa misi mereka adalah dakwah dan mungkin juga ingin memulai hidup baru dengan nuansa yang berbeda, karena tidak ada data sejarah yang dapat dirujuk secara lebih tentang bagaimana kehidupan mereka selanjutnya, hingga datanglah Marcopolo pada tahun 1292.
Marcopolo mencatat bahwa pada tahun 1292, masyarakat yang terdapat di bumi Nusantara terdapat tiga jenis golongan dalam sistem keyakinan mereka.Diantaranya, terdapat masyarakat Cina yang beragama Islam, masyarakat dari Persia-Arab yang juga menganut Islam (disebut masyarakat Barat-maksudnya Baratnya Cina), selanjutnya yang ketiga adalah penduduka pribumi yang masih menganut keyakinan kuno.Perlu dicatat bahwa perjalanan Marcopolo ini satu tahun sebelum kerajaan Majapahit berdiri.
Hingga sampai seratus tahun kemudian, datanglah Laksamana Ceng Ho bersama rombongan kapalnya di pantai Tuban. Dalam catatan Ceng Ho disebutkan bahwa di Tuban terdapat seribu keluarga Cina yang beragama Islam, data statistik ini juga sama dengan yang ia temukan di Gresik dan Surabaya. Selanjutnya dikatakan bahwa semua penduduk pribumi yang terdapat di Tuban, Gresik, dan Surabaya keyakinan mereka masih dianggap “Kafir”.Catatan ini kemudian menjadi selaras dengan yang telah ditulis oleh Marcopolo seratus tahun kemudian, betapapun menyisakan berbedaan yang cukup tajam dan kondisi tempat yang berbeda.
Kunjungan Laksamana Ceng Ho yang terakhir jatuh pada tahun 1433, Ceng Ho bersama juru tulisnya bernama Ma Huan memiliki catatan yang hampir serupa sebagaimana kunjungan pertamanya di pulau Jawa. Peristiwa ini menjadi titik balik yang penting ketika melihat bahwa-sebagaimana yang telah ditulis lebih awal-pada tahun 674 masyarakat pribumi telah melakukan interaksi sosial dan ekonomi dengan para saudagar dari Arab, ini artinya bahwa selama kurang lebih delapan abad-sejak abad ke tujuh hingga lima belas masehi-penduduk pribumi masih belum menganut Islam.
Inilah konteks kenyataan sejarah yang perlu diketahui dan direnungkan oleh siapapun, bahwa tampaknya Islam tidak serta merta mudah diterima oleh penduduk lokal, butuh proses dan waktu yang cukup panjang hingga akhirnya baru menemukan cara-cara yang lebih luwes, santun dan mudah diterima, sesuai dengan kondisi psikologi agama para penduduk pribumi dan pada umumnya penduduk di seluruh Nusantara.Inilah pekerjaan rumah yang perlu dirumuskan oleh generasi pendakwah selanjutnya, dengan meningkatkan daya kreatifitas yang tinggi dan melakukannya dengan jalur akulturasi yang membumi.
Era Walisongo
Pada tahun 1440, Maulana as-Samarkandi bersama dua orang anaknya bernama Ali Rahmat dan Ali Murtla (Ali Murtadho, kakak dari Ali Rahmat), serta satu saudaranya bernama Abu Hurairah singgah ke wilayah Tuban. Tujuan mereka ke pulai Jawa tidak lain adalah untuk mengunjungi Bibi dari Ali Rahmat dan Ali Murtla dari jalur ibu asal Campa yang dinikahi oleh raja Majapahit yang saat itu berkuasa. Tetapi setelah peristiwa wafatnya Maulana as-Marakandy, akhirnya Ali Rahmat dan Ali Murtla memberanikan diri untuk datang ke Majapahit guna kunjungan silaturahim antar keluarga.
Pada saat Ali Rahmat dan Ali Murthla pertama kali mengunjungi kerajaan, kementrian agama di kerajaan itu hanya ada dua. Pertama adalah meteri yang khusus mengurusi masalah-masalah agama Hindu-Budha dan satu lagi mentri yang berwenang dalam mengurusi agama penduduk pribumi, karena Ali Rahmat dan Ali Murthla telah menjadi dan dianggap sebagai bagian dari keluarga kerajaan, maka Ali Murthla diberi jabatan keagamaan dan memiliki kekuasaan di Gresik (kemudian hari terkenal dengan sunan Gresik) sementara Ali Rahmat diberi wewenang menjadi Imam masjid dan mengurusi masyarakat muslim Cina dan masyarakat muslim lainnya di Surabaya (merupakan jabatan yang prestisius dan membutuhkan kompetensi yang tinggi).
Hingga beberapa waktu kemudian dikisahkan Ali Rahmat menikah dengan Nyai Ageng Manila, putrid dari Arya Teja dari Tuban. Sementara itu, ada sumber lain yang menuturkan bahwa Ali Rahmat adalah bupati pertama Surabaya. Terlepas dari kebenaran fakta itu, yang jelas Ali Rahmat memulai dakwahnya yang pertama di wilayah Surabaya, sebagaimana kewajiban seorang muslim untuk berdakwah di jalan yang benar. Nabi sendiri telah bersabda “Sampaikan apa yang bersumber dariku walaupun satu ayat”.
Di Surabaya, Ali Rahmat mendirikan sebuah padepokan di mana ia mulai berdakwah, mengajar, dan mendidik para santri yang menimba ilmu di sana. Dalam Babad Tanah Djawi digambarkan bahwa selain mengajari murid-muridnya membaca al-Qur’an, Ali Rahmat juga mengajari mereka kitab-kitab tentang ilmu syariat, tarikat, dan ilmu hakikat, baik lafal maupun makna.Ali Rahmad juga digambarkan mencontohkan kehidupan yang zuhud (meninggalkan urusan duniawi) dengan melakukan riyadhah ketat. Dalam Babad Demak terdapat juga gambaran bagaimana Ali Rahmat (Sunan Ampel) memberikan ajaran yang bersifat esoteric kepada Raden Paku (tak lain adalah Sunan Giri dari Gresik), yaitu ilmu tasawuf yang didasarkan pada ilmu qalbu.
Sebagaimana tercatat dalam historiografi dan kisah legenda jawa lainnya, Ali Rahmat yang mashur disebut Sunan Ampel berasal dari negeri Champa. Menurut S.Q. Fatimy, mazhab orang-orang Champa beraliran Syiah. Namun, sebagian besar orang-orang Champa telah kehilangan orientasi dan mengalami diskontiunitas sejarah sehingga tidak mentehaui lagi secara benar jika Islam yang mereka jalankan adalah Islam pengaruh Syiah, terutama Syiah Zaidiyah. Sunyoto sendiri menuturkan bahwa pengaruh Champa di wilayah dakwah Sunan Ampel sangat terlihat jelas, misalnya dalam hal upacara peringatan orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100 dan ke-1000, termasuk tradisi haul, talqin, adalah tradisi khas Champa yang jelas-jelas terpengaruh paham Syiah Zaidiyah. Dan masih banyak lagi pengaruh tradisi Islam Champa yang melatari dakwah Islam Sunan Ampel.
Islam yang berkembang di Jawa karena perjuangan Sunan Ampel dan para penyebar Islam abad ke-15 dan ke-16 adalah Islam yang unik. Sebab, ia merupakan akulturasi dan asimilasi dari aspek budaya pra-Islam dengan Islam, baik melalui jalur sosial, budaya, politik, ekonomi, mistik, kultur, ritual, tradisi keagamaan, maupun konsep-konsep sufisme yang khas, yang merefleksikan keragaman tradisi muslim secara keseluruhan. Dalam konteks akulturasi dan asimilasi itulah, pengaruh tradisi keagamaan muslim Champa menjadi dominan dalam mewakili unsur sosio-kultural-religius dibanding pengaruh tradisi keagamaan muslim dari tempat lain.
Sementara itu, dari seluruh jajaran Walisongo yang tersohor dan legendaris, tampaknya Sunan Bonang dan Sunan Drajat (adik dari Sunan Bonang) memiliki hubungan yang dekat serta klimaks dengan Sunan Ampel, mereka tak lain adalah putra-putra Sunan Ampel hasil pernikahannya dengan Nyai Ageng Manila dari Tuban.Sunan Bonang dikenal sebagai tokoh Walisongo yang ulung dalama berdakwah dan menguasai berbagai ilmu kesaktian dan kedigdayaan, serta sangat menguasai ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan lain sebagainya.
Sementara itu, Sunan Drajat dikenal dengan salah satu jajaran Walisongo yang mengembangkan dakwah melalui jalur pendidikan akhlak bagi masyarakat. Sebagaimana Sunan Bonang, oleh karena ibunya berasal dari keluarga Bupati Tuban, Sunan Drajat dididik dalam lingkungan keluarga ibunya yang jawa. Sehingga pengetahuannya tentang seni, bahasa, budaya, sastra, dan agama lebih bercorak Jawa.
Selain daripada itu, jejeran para Walisongo lainnya yang paling populer dan dominan diantaranya adalah Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Datuk Abdul Jalil (yang lebih kenal dengan sebutan syeh Lemah Abang atau syeh Siti Jenar yang sangat populer dan controversial dengan ajarana-ajaran tasawufnya yang agak aneh dan membumi). Meski kenyataannya Sunan Muria adalah yang paling muda, tetapi pada masanya, yakni sekitar abad ke-15 jajaran Walisongo mampu membentuk jaringan keulamaan dan dakwah yang meluas dan mengalami begitu cepat proses Islamisasi selama kurang lebih lima puluh tahun terakhir.
Ini merupakan pertanda bahwa sistem dakwah mereka memang menggunakan cara-cara yang mudah diterima sebagaimana diungkapkan dimuka bahwa jalur akulturasi dan asimilasi ternyata begitu cocok dan mewarnahi kemudahan demi kemudahan segala apske dakwah yang dilakukan oleh Walisongo yang faktanya sudah tidak dapat dibantah lagi oleh ahli sejarah manapun, mungkin hanya sebagian saja yang masing disebut amatir.
Hingga saat ini, pengaruh Walisongo dalam melakukan proses Islamisasi dibumi Nusantara masih begitu tampak dirasakan, jika tanpa Walisongo yang begitu mengagumkan, boleh jadi kondisi keagamaan masyarakat dewasa ini masih menganut keyakinan lama, baik Hindu-Budha, Kapitayan, Sunda Wiwitan dan jenis keyakinan kuno lainnya yang masih sangat primitif dan corak Animisme dan Dinamisme masih sangat terlihat, sebagaimana ungkap para orientalis yang baik.
Sungguh ini merupakan kisah faktual yang perlu menjadi teladan bagi generasi hari ini, betapapun kondisi sosial dan kontekstualitasnya sudah berbeda antara era Walisongo dan era Ustadz pendakwah elektronik seperti ustadz seleb dan lain-lainnya, paling tidak keteladan mereka dalam menjaga falsafah keselarasan hidup dan penanaman sikap yang penuh bijaksana dan santun perlu menjadi teladan dan pembelajaran bagi kita semua.
Proses dakwah yang begitu cepat dan meluas-yang tampaknya tidak masuk akal-yang dilakukan oleh Walisongo tak lain menggunakan jalur-jalur dakwah sebagaimana yang dikatakan di muka, hal ini telah menjawab pertanyaan besar yang tampaknya mewarnai keragu-raguan para pengamat bahwa mengapa proses yang begitu cepat ini, kira-kira dalam tempo lima puluh tahun, penduduk pribumi secara mayoritas mampu memeluk Islam secara masif, yang jauh berbeda dengan kondisi antara abad ke-7 sampai abad ke-14 yang dalam rentang waktu delapan abad lamanya penduduk pribumi masih belum menganut Islam , padahal telah banyak masyarakat asing yang tinggal di Nusantara yang telah memeluk Islam terlebih daluhu, sebagaimana orang-orang dari Persia, Cina, dan Arab (semoga semuanya masuk Surga, Amien).
Bacaan Lebih Lanjut
Agus Sunyoto. Atlas Walisongo. Jakarta: Pustaka IIMan, 2014.
Asy-Syahrastani.Al-Milal Wa Al-Nihal. Surabaya: Bina Putra, tt.
Bibit Suprapto. Ensiklopedi Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009.
M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2001.
Slamet Muljana. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2009.
Agussalim Sitompul. Usaha-Usaha Mendirikan Negara Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta: Misaka Galiza, 2008.

Rohmatul Izad_Penulis adalah alumni PP. Al-Qodiri 1 Jember, Saat ini menjadi mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Ketua Pusat Studi Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.
Komentar

Tampilkan

Terkini

Followers