masukkan script iklan disini
ISLAM DOKTRINER
"Berbuatlah amal baik selagi Anda masih dalam kekuasaan hidup. Buku-buku catatan amal masih terbuka. Taubat masih diberikan. Pelari dari Allah masih dipanggil. Orang yang berdoa masih diberi harapan. Sebelum cahaya dipadamkan. Sebelum waktu habis kadaluwarsa. Sebelum hidup berakhir. Sebelum pintu taubat tertutup. Sebelum malaikat naik ke langit."(Imam Ali bin Abi Thalib)
Pernahkah dalam hidup yang telah Anda lalui ini, Anda ditanya, baik oleh orang lain ataupun oleh diri Anda sendiri dengan pertanyaan berikut ini: "Sejak kapankah Anda menjadi seorang muslim?" Dan ketika saya bertanya demikian itu kepada Anda, apakah jawaban Anda? Saya membayangkan bahwa di antara Anda ada yang menjawab bahwa Anda menjadi seorang muslim itu sejak kecil. Sejak Anda lahir. Sejak diperdengarkan adzan di telinga kanan Anda dan iqamat di telinga kiri Anda. Sejak saat itulah Anda berstatus sebagai seorang muslim. Pun, mungkin ada pula di antara Anda yang menjawab bahwa ketika Anda yang berjenis kelamin laki-laki dikhitan, maka saat itulah status "muslim" menjadi "sah" sebagai agama Anda. Bukankah dalam kaca pandang fiqh, khitan merupakan momentum saat di mana seorang anak mendapatkan taklif agama? Jika status menjadi muslim bagi laki-laki itu tersimbolkan saat khitan, lalu bagaimana dengan perempuan? Apakah saat-saat datangnya menstruasi pertama kali adalah saat di mana seorang perempuan "resmi" menjadi perempuan muslimah? Pun, saya juga membayangkan bahwa ada pula di antara Anda yang menjawab bahwa Anda menjadi seorang muslim ketika orang tua Anda mengenalkan Islam kepada Anda. Anda dikenalkan siapa itu Allah, siapa itu Rasulullah, apa itu al-Qur'an, dan seterusnya. Dan saya tidak tahu kapan pertama kali orang tua Anda mengenalkan Islam kepada Anda. Dan apakah Anda masih ingat, kapan, di mana, saat usia berapa, dan bagaimana kedua orang tua Anda mengenalkan Islam kepada Anda? Pada kenyataannya, akan kita akui atau tidak, kita ini menjadi muslim karena keturunan. Karena orang tua kita muslim, kita pun menjadi muslim. Tetapi, anehnya, manakala kita ditanya sejak kapan kita ini benar-benar menjadi muslim, kita sendiri tidak mampu menjawabnya. Sungguh, saat di mana kita masih bayi, ketika ayah memperdengarkan adzan dan iqamat di telinga kita, bukanlah saat di mana kita bisa disebut sebagai seorang muslim. Demikian pula saat di mana kita diperkenalkan orang tua kita akan Allah, Rasulullah, al-Qur'an, dan bahkan Islam itu sendiri. Saat seorang anak laki-laki dikhitan atau saat seorang anak perempuan menstruasi, pun bukan saat di mana dia disebut sebagai muslim. Saat-saat yang demikian itu adalah saat-saat di mana kita sesungguhnya tengah diperkenalkan oleh orang tua kita, atau kakak-kakak kita, atau orang-orang dewasa terhadap agama apa yang disebut dengan Islam. Dan, diperkenalkan dengan Islam tidak sama dengan menjadi muslim itu sendiri. Persis seperti ketika seseorang memperkenalkan keluarganya pada Anda, tentu Anda tidaklah sama dengan keluarganya itu sendiri. Bayangkan, betapa anehnya perjalanan keislaman kita ini. Aliran waktu telah membuat banyak di antara kita menjadi muslim yang aneh. Pada mulanya, orang tua atau orang dewasamemperkenalkan kita akan Islam dan ajaran-ajarannya, dari hal yang sangat sederhana hingga yang rumit-rumit. Pengenalan Islam dan ajaran-ajarannya itulah yang dapat kita sebut sebagai "proses penanaman akidah islamiyah" pada diri kita. Bahkan, walaupun kita telah lupa, kapan persisnya proses penanaman akidah ini. Lalu, keislaman kita tampak mengalir begitu saja. Mengahr bagaikan anak-anak sungai. Dan, tanpa kita sadari, kita telah menjadi seorang muslim dengan sendirinya. Kalau diringkas—dan bukan bermaksud mereduksi sebuah proses—sesungguhnya jalan yang telah kita tempuh untuk menjadi muslim, kurang lebih adalah sebagai berikut:
• Orang tua mengenalkan Islam dan ajaran-ajarannya pada kita (walau sampai pada tingkatan yang dimengerti dan dipahami oleh orang tua sendiri).
• Lalu, kita meningkatkan pengcrtian dan pema-haman Islam ini kepada guru, ustadz, atau kiai.
• Lalu, kita meningkatkannya lagi melalui buku, majalah, seminar, diskusi, dan lain sebagainya.
jaIan yang pertama di atas, tampaknya adalah jalan yang banyak kita lalui. Dengan kata lain, jalan yang pertama cerscbut menjadi jalan bagi keberislaman kita. Mungkin dan memang hanyalah mungkin apabila kita lahir dari orang tua yang bukan muslim, kita pun cidak akan menjadi seorang muslim. Fakta bahwa orang tua kita seorang muslirn bisa dikatakan sebagai fakta hidayah yang Allah berikan kepada kita. Kenapa saya sebut sebagai hidayah yang pertama? Sebab, karena hidayah inilah kita pun pada akhirnya memeluk agarna Islam. Sungguhpun demikian, banyak di antara kita yang berislam hanya sebatas itu. Banyak di antara kita yang mempraktikkan ajaran-ajaran Islam oleh sebab orang tua, orang dewasa, ustadz, atau kiai kita telah mern-praktilckannya. Dan tanpa terasa, ketika kita dihadapkan pada perbedaan ajaran Islam di luar apa yang kita praktikkan itu, nalar kritis kita menjadi tumpul. Kita menganggap bahwa apa yang di luar pemahaman kita sebagai kenyataan yang aneh. Bahkan, tidak cukup dengan ini, sebagian kita bahkan sampai ada yang menganggapnya salah dan sesat. Inilah yang bisa saya sebut sebagai "Islam doktriner" itu. Pada kenyataannya, sebagian dari kita memasuki Islam karena proses pendoktrinan. Kita didoktrin dengan dogma-dogma, dengan ajaran-ajaran, dengan kaidah-kaidah tertentu yang sayangnya hanya sebatas dipahami oleh orang tua kita, orang-orang dewasa, ustadz atau kiai kita. Selama ini, ketika kita menyebut nama Rasulullah Muhammad, maka kita harus serta-merta mengikutinya dengan ucapan: Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, apabila nama Rasulullah kita kutip atau kita tulis, maka penulisannya menjadi seperti ini: Rasulullah Muhammad Saw. Coba deh Anda perhatikan buku-buku keislaman itu. Coba deh lihat di akhir nama Rasulullah Muhammad, biasanya penulis tak melupakan term "Saw" nya. Nah, karena kita telah terbiasa dengan penggunaan term tersebut, sebagian dari kita tidak siap menerima fakta bahwa ada saudara-saudara kita yang mempergunakan term yang tidak sama dengan kita. Ucapan Shollallaahu alaihi wa sallam pun diganti dengan Shollallaahu wa aalihi. Jadi, tentang pengucapan sholawat ini saja, kita mendapati dua ungkapan yang berbeda: Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan Shollallaahu wa aalihi. Persis dengan perbedaan syahadat rasul: sebagian besar umat Islam menggunakan ungkapan wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah. Tetapi, sebagian yang lain menggunakan ungkapan wa asyhadu annamuhammadan tabduhu wa rasuuluh. Di atas itu adalah contoh yang sederhana. Dan banyak sekali contoh-contoh yang tidak sederhana. Tetapi, karena Islam kita adalah Islam doktriner, maka ketika kita mendapati praktik-praktik yang berbeda dengan kita, akhirnya yang muncul pada diri kita adalah perasaan-perasaan aneh seperti kita merasa paling benar, merasa yang lebih benar, atau merasa benar sendiri; sehingga, mereka yang ada di luar kita adalah mereka yang salah dan yang sesat. Jiwa keislaman kita, pada akhirnya, adalah jiwa keislaman yang bergolak dengan saling menyalahkan dan membenarkan sendiri. Pada akhirnya, kita lebih sering meributkan urusan-urusan mana yang lurus dan mana yang bengkok; mana yang lurus dan mana yang sesat; mana yang berkah dan mana yang bid'ah; mana yang berakidah murni dan mana yang dipenuhi takhayul dan khurafat. Sungguh, alih-alih kita akan dapat mencapai derajat kedekatan dan cinta kepada Allah, energi kita justru terhambur-hamburkan untuk persoalan yang sulit berakhir seperti ini!