masukkan script iklan disini
Relasi Islam dan
Budaya
Sebagai Langkah
Islamisai yang Integratif
Oleh : Moh Nurhuda
Agama dan budaya merupakan unsur-unsur
yang telah melekat di tengah-tengah masyarakat. Kedua unsur ini tidak dapat di
pisahkan dari kehidupan masyarakat. Karena agama dan budaya merupakan hal yang
saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Memang pada dasarnya agama
Islam merupakan agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam bukanlah
budaya dan adat istiadat. Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa Islam tidak
menolak budaya dan adat istiadat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dalam menyikapi budaya dan adat istiadat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
Islam, Islam tentu akan menyikapinya dengan bijaksana, korektif, dan selektif.
Apabila sebuah budaya dan adat istiadat tidak mengandung sesuatu yang
kontras dengan nilai-nilai Islam, maka Islam akan menerima dan
melestarikannya.Akan tetapi jika suatu budaya dan adat istiadat bebenturan
dengan ajaran agama Islam, maka islam akan memberikan jalan keluar dari
permsalahan tersebut. Seperti menggantinya dengan unsur-unsur Islami tanpa
harus menghapus budaya dan adat istiadat yang sudah ada. Namun ketika budaya
dan adat istiadat tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka secara
otomatis akan menjadi bagian dari Islam.
Ketika ajaran Islam masuk dalam sebuah
masyarakat yang memiliki budaya dan adat istiadat, maka akan terjadi
tarik-menarik diantara keduanya. Begitupun dengan agama Islam. Sebab dalam
sejarah turunnya agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW berada di tengah
lingkungan masyarakat Arab yang memiliki beragam budaya dan adat istiadat.
Dimana telah di amalkan secara turun-temurun oleh anak cucu pengikutnya. Oleh
karena itu penyampaian Islam akan mengalami adaptasi dengan masyarakat Arab
saat itu.
Salah satu contoh yang pernah dilakukan
oleh Nabi Muhammad SAW yaitu akikah. Sejumlah riwayat meyebutkan bahwa tradisi
akikah sebenarnya sudah dilakukan oleh kaum jahiliyah sebelum adanya Islam.
Mereka melakuannya untuk anaknya yang baru lahir, khususnya bagi anak
laki-laki. Cara yang mereka lakukan adalah dengan menyembelih kambing. Lalu
darahnya di ambil dan di lumurkan ke kepala sang si bayi. Namun oleh Nabi
Muhammad SAW tradisi tersebut tidak dihapus akan tetapi hanya dirubah sedikit
didalam pelaksanaannya serta memasukkan nilai-nilai Islam. Dengan cara
menggantinya dengan mencukur rambut si bayi dan melumurinya dengan minyak
wangi. Sungguh sangat bijaksana inilah cara berdakwah yang di terapkan oleh
Nabi Muhammad SAW yaitu dengan melihat situasi dan kondisi masyarakat.
Tidak seperti akhir-akhir ini dimana ada
sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam yang selalu memvonis syirik dan
membid’ahkan segala sesuatu yang tidak ada di Negara Arab. Mereka melarang
segala sesuatu yang tidak ada di Negara Arab. Mereka berdalih Islam itu identik
dengan berjenggot dan berjubah, tetapi Abu Jahal, Abu Sufyan dan sekutunya pun
juga berjenggot dan berjubah. Lantas manakah yang merupakan ajaran Islam dan
manakan yang merupakan budaya. Interaksi antara keduanya memang merupakan
sesuatu yang ambivalen. Islam dan budaya memiliki indepedensi masing-masing.
Dalam konteks seperti ini tidak menghalangi manifestasi kehidupan beragama
agama dalam bungkus budaya.
Islam masuk kesuluruh Nusantara tanpa
adanya pertumpahan darah sedikitpun. Hal ini karena metode dakwah yang
digunnakan tanpa melalui kekerasan tetapi melalui akulturasi terhadap budaya
lokal. Selain itu, situasi saat itu yang berada di tengah dominasi politik
Hindu-Budha yang sangat kuat di tengah kerajaan Singosari dan Majapahit.
Sehingga menjadikan kebudayaan Hindu-Budha merasuk dan melekat di dalam
sendi-sendi kehidupan masyarakat nusantara. Kondisi masyarakat saat itu memaksa
pola dakwah yang unik yaitu menempakan ajaran Islam di tengah ajaran yang telah
berjalan secara tepat dan proporsional. Dengan tetap melestarikan budaya lama
untuk di jadikan sarana pengembangan Islam sendiri.
Hubungan seperti ini memang seperti
terdapat adanya pertentangan. Terkadang ada yang mempermasalahkan tentang akulturasi
antara agama dan budaya ini. Mereka mempunyai keyakinan bahwa ajaran agama
tidak boleh mendapatkan campuran dari berbbagai bentuk apapun termasuk budaya.
Islam sebagai agama yang memiliki sifat universal(rahmatal lil’alamin),
memiliki sifat yang fleksibel untuk berkembang disegala tempat dan waktu sampai
akkir zaman. Walaupun dipertemukan pada budaya lokal di seluruh muka bumi,
keuniversalan Islam tidak akan berkurang sedikitpun. Budaya Islam di daerah
Jawa akan berbeda dengan tradisi Islam yang ada di Kalimantan, tradisi di
daerah nusantara seluruhnya memiliki ciri khas tersendiri. Di Sumatera, di
wilayah kerajaan Aceh Darussalam, yakni pada masa pemerintahan Raja
Dharmawangsa(Sultan Iskandar Muuda) 1607-1636, terdapat seorang ulama besar
yang bernama Syaikh Abdurrouf Sikel. Beliau adalah seorang pemuka agama dan
juga seoorang pujangan ulung yang ahli dalam kebudayaan lokal. Karena itulah
beliau bias menlakukan pribumisasi agama Islam di kerajaan Aceh tersebut. Jadi,
walaupun dengan pelbagai budaya yang berbeda-beda tetapi syariat Islam tetap
menjadi pedoman.
Budaya merupakan aspek yang cocok dalam
pengembangan Islam di nusantara. Dari sudut pandang yang lain juga dikarenakan
budaya dapat menyentuh seluruh aspek dan beragam sudut pandang, sikap hidup
serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Selain itu, dengan melalui
pendekatan kultural dinilai lebih integratif. Sebagaimana yang dilakukan oleh
para penyebar Islam di tanah Jawa yang dikenal dengan walisongo telah berhasil
mengislamkan masyarakat jawa tanpa pertumpahan darah.
Rahasia keberhasilan dalam menyebarkan
Islam ialah karena walisongo mengetahui celah yang ada di masyarakat pada saat
itu. Dengan melalui kebiasaan dan budaya masyarakat setempat. Walisongo
berhasil memasukkan nilai-nilai agama Islam kedalam budaya lokal. Maka jangan
heran jika corak bilai religiusitas masyarakat Indonesia terdapat banyak
keragaman di dalam ritual keagamaan.
Didalam
pembahasan Islam dengan budaya lokal telah banyak yang membahasnya, namun tidak
ada rasa bosan bagi para intelektual dalam mempelajarinya. Pertama, dikarenakan
Islam memiliki sifat yang fleksibel dalam menghadapi budaya lokal terjadi
hubungan yang dinamis dan harmoni. Hal ini disebabkan tututan situasi dan
kondisi yang memaksa agar ajaran Islam dapat di terima di dalam sisi kehidupan
masyarakat yang multikultural. Dengan mengutamakan keserasian dengan budaya
yang ada di masyarakat. Kedua, dengan berkembangnya paham-paham baru yang
dengan gencar menghakimi budaya lokal dengan pendapat yang radikal dan
menganggap dirinya paling benar. Salah satu yang di anggap tidak sesuai dengan
ajaran Islam antara lain Tahlilan. Tahlilan yang pada asal mulanya dari budaya
dan memiliki fungsi yang sangat besar dibandingkan hanya sekedar ritual belaka.
Dalam perspektif Islam pun terdapat penjelasan mengenai budaya
dan tradisi antara lain:
1.
Tradisi
menurut al-Qur’an.
Allah subhanahu
wata’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ
الْجَاهِلِينَ (الأعراف: 199).
“Jadilah engkau pemaaf dan
suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah
daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).
Dalam ayat di atas
Allah memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyuruh
umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah
tradisi yang baik.
Didalam penafsiran ‘urf
dengan tradisi yang baik dan sudah melekat pada masyarakat. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Al-Imam al-Nasafi berkata dalam tafsirnya:
(وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ) هُوَ كُل ُّخَصْلَةٍ يَرْتَضِيْهَا
الْعَقْلُ وَيَقْبَلُهَا الشَّرْعُ.
“Suruhlah orang
mengerjakan yang ‘urf , yaitu setiap perbuatan yang disukai oleh akal dan
diterima oleh syara.” (Tafsir al-Nasafi, juz 2 hlm 82).
Oleh karena yang
dimaksud dengan ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik, al-Imam
al-Sya’rani berkata:
“Di antara budi pekerti
kaum salaf yang shaleh, semoga Allah meridhai mereka, adalah penundaan mereka
terhadap setiap perbuatan atau ucapan, sebelum mengetahui pertimbangannya
menurut al-Qur’an dan hadits atau tradisi. Karena tradisi termasuk bagian dari syari’ah.
Allah SWT berfirman: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
‘urf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”.
(QS. al-A’raf : 199).” (Al-Imam al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarrin, hlm 14).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan,bahwa tradisi dan
budaya termasuk memilki relasi yang sudah terjalin serta di perintahkan dalam,
yang harus kita lakukan yaitu melestestarikan dan menjaga dengan mengedepankan
kemaslahatan ummat.
2.
Tradisi
Dalam Sunnah.
Dalam hadits
diterangkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ.
أخرجه أحمد ، وابن سعد والحاكم وصححه على شرط مسلم. والبيهقى و الديلمى.
“Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti yang
mulia.” (HR. Ahmad [8939], Ibnu Sa’ad (1/192), al-Baihaqi [20571-20572],
al-Dailami [2098], dan dishahihkan oleh al-Hakim sesuai dengan syarat Muslim
(2/670 [4221]).
Dibalik sebuah tradisi,
tersirat nilai-nilai budi pekerti yang luhur, suci, dan Islam hadir untuk
menyempurnakan dengan nilai-nilai yang Islami. Oleh sebab itu, ada sebagian kecil dari hukum syari’ah dalam
Islam mengimitasi dari tradisi jahiliah seperti hukum qasamah, diyat ‘aqilah,
persyaratan kafa’ah (keserasian sosial) dalam pernikahan, akad qiradh (bagi
hasil), dan trakjdisi-tradisi baik lainnya dalam Jahiliyah. Demikian
diterangkan dalam kitab-kitab fiqih. Sebagaimana puasa Asyura, juga berasal
dari tradisi Jahiliyah dan Yahudi, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih
al-Bukhari dan Muslim.
Islam merupakan agama
yang paling toleransi terhadap tradisi selama sejalan dalam koridor keislaman
yang benar. Dalam hadits lain diterangkan:
“Abu Musa al-Asy’ari
radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus
seseorang dari sahabatnya tentang suatu urusan, beliau akan berpesan:
“Sampaikanlah kabar gembira, dan jangan membuat mereka benci (kepada agama).
Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR. Muslim [1732]).
Hadits di atas berpesan
kepada umat bahwa Islam itu agama yang mudah serta rahmatal lil’alamin atau
dengan kata lain lakukanlah syariat islam semampu dari pribadi masing-masing,
antara lain dengan menerima sesuatu yang baru dari luar Islam yang baik-baik
dan meninggalkan kebiasaan lama yang buruk. Sebagaimana dimaklumi, suatu
masyarakat sangat berat untuk meninggalkan tradisi yang telah berjalan
turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Menolak tradisi mereka, berarti
mempersulit proses pengislaman mereka. Oleh karena itu dalam kondisi seperti
ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي
خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللهِ إِلاَّ أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا. رواه
البخاري
“Dari Miswar bin
Makhramah dan Marwan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Tuhan
yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya, mereka (kaum Musyrik) tidaklah meminta
suatu kebiasaan (adat), dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, kecuali aku
kabulkan permintaan mereka.” (HR. al-Bukhari [2581]).
Hadis diatas memberikan pentaukidan
bahwa tradisi yang di dalamnya mengagungkan hak-hak Allah SWT akan mendapatkan
do’a yang diijabah oleh Nya.
3.
Tradisi
Menurut Sahabat
Para sahabat pun
berkomentar dalam permasalahan ini, diantaranya Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang
berkata:
قال عبد الله بن مسعود : مَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ
حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً فَهُوَ
عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ. رواه أحمد وأبو يعلى والحاكم
Abdullah bin Mas’ud
berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik pula menurut Allah.
Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka jelek pula menurut Allah.”
(HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-Hakim).”
Menjaga tradisi baik
dalam pandangan Islam berarti melakukan sesuatu yang di anggap baik oleh Allah
SWT dan secara tidak langsung menjaga kebersamaan.Sebaliknya dengan melanggar
tradisi yang telah ada justru menimbulkan fitnah dan permusuhan pada masyarakat.
4.
Tradisi
Menurut Para Ulama
Dalam kitab-kitab
sejarah juga disebutkan:
“Muhammad bin Rafi’
berkata: “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Ishaq di tempat Abdurrazzaq. Lalu
kami memasuki hari raya Idul Fitri. Maka kami berangkat ke mushalla bersama
Abdurrazzaq dan banyak orang. Setelah kami pulang dari mushalla, Abdurrazzaq
mengajak kami sarapan. Lalu Abdurrazzaq berkata kepada Ahmad dan Ishaq: “Hari
ini saya melihat keanehan pada kalian berdua. Mengapa kalian tidak membaca
takbir?” Ahmad dan Ishaq menjawab: “Wahai Abu Bakar, kami melihat engkau apakah
engkau membaca takbir, sehingga kami juga bertakbir. Setelah kami melihat
engkat tidak bertakbir, maka kami pun diam.” Abdurrazzaq berkata: “Justru aku
melihat kalian berdua, apakah kalian bertakbir, sehingga aku akan bertakbir
juga.” (Al-Hafizh Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq, juz 36 hlm 175; dan al-Dzahabi,
Siyar A’lam al-Nubala’juz, 9 hlm 566 ).
Pelajaran dari riwayat di atas, Imam
Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih tidak bertakbir ketika menuju mushola
pada saat idul firti, karena ta’dzim terhadap guru mereka, Imam Abdurrazzaq
al-Shan’ani tidak bertakbir. Sementara Imam Abdurrazzaq tidak bertakbir, karena
melihat kedua muridnya yang alim. Suatu budi pekerti yang sangat mulia, yaitu
meninggalkan amalan sunnah, karena takut menyakiti perasaan orang laindi
dekatnya. Oleh karena ini, terdapat kaedah berikut:
يُشْرَعُ تَرْكُ السُّنَنِ وَالْمُسْتَحَبَّاتِ لِتَأْلِيْفِ
الْقُلُوْبِ
“Disyari’atkan
meninggalkan amalan-amalan sunnah dan mustahab untuk menarik simpati
masyarakat.”
Penjelasan di atas memerintahkan kepada
kira agar lebih mengutamakan kepentingan umum di bandingkan dengan kepentingan
pribadi. Melakukan sesuatu yang dapat menarik simpati masyarakat dibandingkan
melakukan amalan-amalan sunnah. Sungguh sangat penting menjaga sebuah tradisi yang
telah di sukai masyarakat. Mementingkan kemaslahatan dibandingkan melakukan
ibadah sunnah.
Kaedah tersebut sudah
sangat jelas dan terang, intinya kita harus tetap mengikuti tradisi lokal yang
masih sesuai dengan nilai-nilai Islam. Bahkan,Imam Ahmad bin Hanbal memilih
untuk tidak mengerjakan shalat sunnah qabliyah Jum’at, demi menjaga kerukunan
dengan masyarakat di tempat ini yang menganggap hal tersebut tidak sunah.
Jadidapatdisimpulan, bahwa dari semua
pemaparan di atas Islam itu sama sekali tidak menentang budaya lokal. Islam
justru memiliki hubungan dengan budaya lokal demi menjaga simpati masyarakat, selama budaya tersebut
mengandung nilai-nilai luhur dan sesuai dengan ajaran Islam maka, harus di jaga
dan di lestarikan Dari penjelasan panjang di atas terbukti bahwa relasi antara
Islam dan budaya lokaltidak dapat di pisahkan. Bahkan, menjadi sesuatu hal yang
harus di lakukan demi menjaga kemaslahatan umat. Oleh karena itu marilah kita
menjaga tradisi budaya yang telah di bangun oleh pendahulu kita dengan
sebaik-baiknya.
Daftar Pustaka
DataRepuplika,
Pusat.“Ini Sejarah dan Hukum Akikah”. Jum’at, November 17, 2017, 9:23:24
PM. http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/15/11/03/nx8pr9313-ini-sejarah-dan-hukum-akikah.
Ramli, Mumammad Idrus.
“PRIBUMISASI ISLAM, MENGENAL ISLAM DAN RELASINYA DENGAN SOSIAL-BUDAYA. Jum’at,
November 17, 2017, 9:23:24 PM.http://www.muslimedianews.com/2015/05/tradisi-menurut-al-quran-as-sunah.html#ixzz4GEo1l
Asrofi, Moh. “Islam dan
Budaya Lokal”. Jum’at, November 17, 2017, 9:23:24 PM.http://lakpesdamblitar.org/web/index.php/artikel/160-islam-dan-budaya-lokal.