masukkan script iklan disini
Aku akan menceritakan kisah ini padamu. Tidak untuk membuatmu menyukai tulisanku atau untuk membuatmu terkesan atau memujiku. Tidak. Bukan karena semua itu. Tapi karena kisah ini begitu mendesak untuk kututurkan. Begitu penting untuk diketahui banyak orang. Kuyakin kau nantinya akan sangat setuju denganku bahwa memang kisah ini tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk disampaikan. Diperdengarkan. Dibacakan. Dibuat agar semua orang mengerti dan menyadari ada sesuatu yang besar di luar diri mereka. Yang sebenarnya juga terdapat dalam diri mereka. Sesuatu itu menunggu untuk dilecut dan dibangkitkan. Aku memikirkan mengenai semua itu. Inilah ceritaku.
Dia seorang anak dari keluarga kuli kasar bergaji rendah. Masa kerja yang sudah melampaui angka dua puluh tahun sama sekali tidak menambah jumlah gajinya. Ayahnya bekerja di salah satu gudang bulog beberapa kilometer di luar desa. Bukan sebagai satpam atau sopir truk. Apalagi sebagai pencatat keluar masuknya barang atau bagian keuangan. Melainkan sebagai pengangkut karung-karung beras raksasa dari truk-truk tua ke dalam gudang pengap lagi panas tersebut. Dia sudah bekerja seperti itu sejak memasuki usia SMA. Dia tidak sekolah SMP, juga tidak tamat SD. Semenjak memulai kerja sebagai buruh bulog, hidup dan harapannya ditumpahkan pada panen para petani di sawah-sawah nun jauh di sana dan berlanjut sampai sekarang dia beristri dan beranak. Anak yang mulai sekolah SMP.
Istrinya bekerja di tempat penyelepan beras. Dan, sama seperti suaminya, dia mulai bekerja di sana semnejak memauki usia SMA. Tidak pernah memasuki SMP dan beruntung karena berhasil menamatkan SD. Dia pun menggantungkan kehidupannya pada panen para petani yang sawahnya membentang luas tak jauh dari tempat kerjanya.
Bekerja sebagai buruh di gudang yang sama sekali tidak menuntutnya untuk membaca apapun, ternyata tak mencegah sang bapak untuk mempelajari sesuatu. Pastinya itu bukan matematika, bukan pula kimia atau fisika, apalagi Bahasa Inggris. Bahkan Bahasa Indonesia pun tidak. Dia tidak mempelajari semua itu—lebih tepatnya dia tidak berinteraksi dengan semua itu, dia hanya berurusan dengan tulang, otot dan beban. Yang ketika ketiganya disatukan maka terciptalah keringat dan kelelahan. Nah, satu hal yang telah dipelajari dengan baik oleh bapak tersebut adalah bahwa orang-orang yang kerjanya ringan tapi bergaji besar di lingkungan gudang itu adalah orang-orang yang sekolahnya sampai tamat SMA kemudian melanjutkan kuliah. Itulah yang dia sangat pahami dan yakini. Oleh karena itu, bersama istrnya, bapak tersebut membuat kesepakatan untuk mencurahkan seluruh tenaga dan uang mereka guna membiayai sekolah anaknya. Mereka tidak menabung untuk membeli televisi atau furnitur. Lemari pun cuma satu dan tidak pernah bertambah. Cat rumah tidak diperbarui. Perabotan dapur berbahan seng dan plastik. Mereka melakukan semua itu dengan sebuah perhitungan yang cermat dan matang.
Untuk memiliki sebuah pesawat telivisi sungguh bukanlah sesuatu yang teramat sulit. Menabung selama lima bulan atau lebih sedikit pastilah cukup untuk membeli televisi ukuran 120, tapi sang bapak punya perhitungan yang jauh melebihi itu. Untuk sekedar membeli tv mereka hanya perlu mengeluarkan banyak uang sekali saja. Tapi nanti, setelah tv itu dipasang di rumah dan disetel pada tiap kesempatan senggang, ia akan terus-terusan mengeruk uang mereka karena beban listrik yang bertambah. Maka televisi akan selalu menghabiskan uang yang susah payah mereka kumpulkan dengan sia-sia. Televisi adalah peti kotak yang berbahaya dan mengancam bagi cita-cita sebuah keluarga.
Membeli lemari baru pun bukanlah sesuatu yang terlalu berat. Menabung selama setahun atau lebih sedikit pastinya cukup untuk membeli sebuah lemari baru dengan bahan kayu tak terlalu jelek. Tapi bapak punya pertimbangan cerdas untuk memutuskan tidak membeli lemari baru. Jika kita beli lemari baru, Bu, katanya, kita tidak hanya akan mengeluarkan banyak uang sekali. Tapi setelah itu, kita akan selalu dipaksa untuk mengeluarkan uang lebih banyak lagi. Lemari baru yang kosong akan menuntut untuk diisi. Lemari itu akan membuat kita membuang-buang uang untuk beli pakaian, beli kain, beli barang-barang yang tak pernah dipakai. Itu semua belanja yang tidak ada gunanya. Begitu pula dengan cat rumah yang baru. Nabi tidak memerintah kita untuk ngecat rumah, kan? Tapi beliau memerintah kita untuk menjaga kebersihannya. Kalau kita bisa menjaga rumah kita tetap bersih maka itu sudah cukup, Bu. Dengan demikian, istrinya pun tak pernah lagi memikirkan baju baru.
Tentang mengapa tak ada satupun perabotan dapur yang terbuat dari kaca atau porselen, alasannya karena baik porselen maupun kaca bisa pecah, piring kaca kemungkinan besar tak akan bertahan melebihi lima tahun. Dan setiap kali ada yang pecah maka mereka harus membeli yang baru. Itu perbuatan yang sangat boros. Tanpa perlu dijelaskan, kedua pasangan suami isteri itu bersepakat untuk memakai perabot dari logam dan plastik. Piring plastik tidak akan pecah walau jatuh sepuluh kali dalam sehari. Gelas besi hanya akan penyok jika jatuh terlontar dari tangan. Maka jadilah rumah pasangan suami isteri itu begitu sederhana dan bersahaja. Lantas untuk apa semua uang yang mereka dapatkan dari membanting tulang di gudang bulog dan tempat penyelepan padi?
Untuk biaya sekolah anaknya yang kini memasuki kelas 7 SMP. Pasangan suami isteri itu sangat perduli pada pendidikian anak semata wayang mereka. Karena setelah puluhan tahun dihabiskan bekerja di gudang bulog, sang ayah berhasil mengambil satu pelajaran penting yang mengubah seluruh pandangannya tentang kehidupan: bahwa orang-orang yang kerjanya ringan dan bergaji besar di gudang bulog adalah orang-orang yang sekolahnya lulus SMP dan SMA kemudian melanjutkan kuliah dan jadi jadi sarjana. Itulah ilmu terbaik yang berhasil dia dapatkan dari gudang kesakitan dan kelelahan itu. Dan ketika dia menyampaikan penemuannya tadi pada isterinya yang lugu, perempuan taat itu pun mengiyakan dan mendukung semua keputusan suaminya berkenaan pendidikan anaknya. Pasangan suami isteri itu pun bersepakat memfokuskan semua uang yang mereka dapatkan untuk kepentingan pendidikan anaknya. Agar dia bisa masuk SMP, agar dia bisa lulus SMA, agar nanti bisa kuliah, agar nanti saat dewasa dia tidak lagi menjadi kuli seperti mereka, agar dia hanya duduk saja di samping kipas angin berputar mencatati karung-karung beras yang masuk dan pulang dengan gaji besar. Itulah harapan kedua orang tua yang bersahaja itu.
Anaknya yang penurut itu paham sekali mengenai harapan dan cita-cita orang tuanya. Dia sudah menyaksikan bagaimana penderitaan dan kesusahan mereka. Bagaimana pekerjaan berat menuakan mereka lebih cepat dari yang bisa dilakukan waktu. Walau belum baligh, dia benar-benar memahami apa artinya hidup kekurangan dan penuh keterbatasan. Dia selalu mendengarkan petuah orang tuanya dengan tekun tentang pentingnya sekolah dan dia pun meyakini bahwa dirinya haram menjadi kuli, meneruskan penderitaan tujuh turunan yang diwarisi bapak ibunya. Anak itu demikian mengerti semua harapan ibu bapaknya dan demikian bekerja keras untuk menjadi buah hati yang mewujudkan harapan bahagia mereka. Dia anak yang bekerja keras di sekolah seperti kedua orang tuanya bekerja keras di gudang dan penggilingan. Dia tak kenal lelah dalam belajar di kelas maupun di rumah sebagaimana kedua orang tuanya tak kenal lelah bekerja di waktu kemarau atau hujan. Semenjak kelas empat SD sampai masuk SMP, nilai anak itu selalu di bawah 65. Seperti kedua orang tuanya yang gajinya tak pernah di atas tiga ratus ribu.
Sayang sekali, anak itu bukanlah dari jenis yang mampu membuat orang tua bermimpi indah dengan meletakkan harapan di tangan anaknya. Dia bukanlah anak dari jenis yang membuat para orang tua bangga menempel hasil ulangannya yang 100 plus di ruang tamu agar dibaca semua tamu yang berkunjung. Dia bukan jenis anak untuk diceritakan kepada teman-teman kerja karena mendapat hadiah dari guru atas prestasi gemilangnya.
Mengapa? Apakah dia kurang bekerja keras? Masih lebih banyak bermain dari pada belajar? Tidak. Bukan seperti itu. Dia sudah bekerja keras. Sangat keras bahkan. Dia selalu belajar, dia tidak pernah melewatkan malam dengan bermain-main dan meninggalkan buku pelajarannya sendirian. Dia tidak melemparkan bukunya karena film kartun jepang sudah mulai tayang—Anda tentu masih ingat di rumahnya tidak ada televisi. Dia telah memulai hidup sebagai siswa yang tekun belajar sejak kelas empat SD sampai sekarang memasuki bangku kelas 7 SMP. Dan nilai-nilai ulangannya masih saja di bawah 65.
Sewaktu duduk di bangku kelas empat SD, dia di luar lingkaran sepuluh besar. Kelas lima, dia menduduki urutan ke lima belas. Memasuki kelas enam, dia hampir saja tidak lulus. Dan, bagaimana dia bisa masuk ke SMP adalah karena sekolah tersebut sedang sangat membutuhkan murid. Siapapun akan diterima oleh kepala sekolahnya asal dia masih bernyawa dan bisa duduk di bangku kelas. Anak itu memenuhi kedua syarat utama tersebut.
Setiap kali usai ulangan, bahkan setiap hari sepulang sekolah, pada malam hari ke dua orang tuanya akan mengecek hasil ulangan dan buku-buku pelajarannya serta mengatakan beberapa hal. Momen paling menakutkan bagi anak itu adalah ketika mereka mengecek hasil ulangannya. Di situ, pada lembar kertas pengukur kepintaran tersebut, hampir selalu akan tertera angka 50, atau 45, atau 40, lebih sering 30, dengan tinta merah. Dan dia hanya bisa tertunduk diam setiap kali ibu bapaknya mengamati angka-angka merah tersebut. Kemudian dia akan menjadi sangat marah pada dirinya sendiri karena kedua orang tuanya tidak pernah marah gara-gara nilai ulangannya.
Mereka hanya diam. Sama seperti dirinya. Mereka tidak bertanya dengan gaya pura-pura bodoh tapi menyindir sebagaimana dilakukan banyak ornag tua lainnya, Nak, apa ini? Angka apa ini? Melainkan mereka hanya menatapnya di wajah tak lebih dari lima detik, kemudian, seperti yang selalu mereka lakukan, sang ibu akan mengelus rambutnya, sang bapak akan mulai bicara. Sekali lagi bercerita bahwa menjadi kuli itu susah. Menceritakan bahwa mereka tidak membeli banyak barang karena ingin selalu bisa membayar uang sekolahnya. Mencurahkan impian bahwa dia suatu hari nanti akan menjadi pria sukses yang bekerja mudah tapi gaji melimpah. Setelah itu, sama sekali tanpa menyinggung hasil ulangan hari itu, kedua orang tuanya akan pergi ke kamar dan tidur. Membanting diri dalam kelelahan sepanjang hari. Dan bocah itu akan mengutuki dirinya dan kebodohannya. Dia benci semua tentang dirinya. Dia sangat benci. Dan betapa orang tuanya memaafkan semua kegagalannya benar-benar membuatnya semakin terdorong—atau mungkin tertekan—untuk memperbaiki nilai-nilai ulangannya.
Ketika dia diterima masuk SMP, orang tuanya tentu sangat bahagia, dia pun demikian, salah satu pintu gerbang menuju kesuksesan masa depan telah berhasil dimasuki. Tapi justeru di situlah bencana itu lebih banyak menimpanya. Pelajaran di SMP benar-benar berbeda dengan semua yang biasa dia temukan di SD. Dia menemukan Bahasa Inggris yang benar-benar berdiri di luar pemahamannya. Dia juga bolak-balik menemukan kata interpretasi, apresiasi, efisiensi dalam buku Bahasa Indonesia yang sama sekali tak dia mengerti artinya. Dia pun tak bisa apa-apa setiap kali gurunya memberi tugas mencari contoh konflik internaisonal, rekonsiliasi antar masyarakat, atau bencana alam di luar negeri karena dia tak pernah menonton apapun di rumahnya. Dia benar-benar merasa seperti ikan yang diseret ke daratan dan dipaksa untuk berenang mengelilingi pulau gersang. Kenyataan itu mendesaknya untuk belajar tiga kali lebih rajin dan giat dari pada sewaktu di SD hanya untuk mendapatkan nilai 30 setiap ulangan Bahasa Inggris, 45 pada ulangan Bahasa Indonesia, dan berkali-kali 0 besar untuk matematika.
Sekali waktu, dia pernah menyalahkan kedua orang tuanya atas kebebalan otaknya. Sejak kecil dia tak pernah diajari dengan baik dan benar oleh mereka. Kedua orang tuanya tak punya apa-apa untuk disampaikan selain cerita capeknya bekerja dan capeknya bekerja dan lagi-lagi capeknya bekerja. Orang tuanya tidak bisa mengajarinya berhitung, atau menghapal kata-kata asing, tidak juga mereka menyediakan televisi agar dia bisa melihat apa yang terjadi jauh di luar negeri. Maka malam itu, di depan halaman buku-bukunya yang terbuka lebar, dia menjadi demikian marah kepada kedua orang tua yang selalu mengharapakan dan mempercayainya selama ini. Akan tetapi, pada saat kemasygulannya memuncak, urat lehernya mengeras, cengkeraman tangannya menikam, begitu dia mendengar suara dengkur bapak ibunya yang bergetar, lalu suara kibasan kipas anyaman bambu, disusul kemudian pukulan keras di kaki untuk mengusir nyamuk, dia pun teringat lagi betapa sudah susah payah ibu bapak yang tak sekolah itu untuk mengasuh, merawat dan mensekolahkannya. Mereka tak sempat untuk mendidiknya dengan layak karena keterbatasan tenaga dan ilmu, oleh karena itu mereka mati-matian berusaha agar dia tetap sekolah sebagai pengganti pendidikan yang harusnya dia dapatkan di rumah. Dia masih kelas tujuh waktu itu, tapi dia sudah memahami situasi berat di rumahnya. Maka malam itu pun dia menangis. Menangisi orang tuanya yang melarat dari kecil sampai tua, menangisi kebebalan otaknya sehinga harus selalu mengecewakan setiap harapan. Dia menangisi semua aitu.
Kemudian sampailah saat ujian kenaikan kelas. Bocah itu lebih-lebih lagi bekerja keras, membaca ulang buku pelajaran dan berusaha mengerjakan PR-PR yang dia dapatkan. Orang tuanya sangat terkesan mendapati kegigihannya itu. Bapaknya pun berbisik pada isterinya, bagaimana kalau kita belikan susu agar anak kita tambah cerdas, biar dia naik kelas dan nilainya bagus? Maka setiap malam, sebelum sang ibu tidur, ketika bocah itu sudah mulai membaca buku pelajarannya untuk ujian esok hari, segelas susu hangat akan sudah tersedia di mejanya. Dia tersenyum senang, segera meneguknya, mendengarkan ibunya melangkah masuk ke dalam kamar, lalu dia pun melanjutkan belajar. Membaca dengan semangat dan percaya diri. Maka dia pun naik kelas, dengan nilai paling rendah di antara semua siswa. Harusnya dia tak naik kelas, tapi karena pertimbangan syarat jumlah murid dalam satu kelas untuk mendapatkan bantuan pemerintah, dia pun dinaikkan. Menghadapi hasil ujian yang terpuruk seperti itu, seperti biasa, orang tuanya tidak memarahinya, tapi bercerita tentang lulus SMA dan jadi sarjana. Malam harinya, bocah itu menangis di bawah bantal kumal.
Duduk di kelas delapan, keadaan tidak mengubah segala sesuatunya menjadi lebih baik. Suatu malam, ketika dia sedang mengerjakan PR yang harus dikumpulkan besok, ketika kedua orang tuanya sudah tidur istirahat, otaknya mampat semampat-mampatnya. Dia putus asa untuk mengerjakan matematika, dia pun pindah menekuni PR IPA, tapi tidak ada yang membaik. Dia pun menutup buku IPA dan beralih berusaha menerjemahkan bacaan Bahasa Inggris yang ditugaskan. Dia berhasil menerjemahkan perkata dengan bantuan kamus tua tapi hasilnya hanyalah susunan kata acak-kadut yang tak bisa dimengerti maksudnya bahkan oleh dirinya.
Dia menghela nafas dalam. Menutup mata dan bersiap menaruh pulpen ke kotaknya. Dengkur orang tuanya yang kelelahan tersampai ke telinganya. Dia pun mengambil lagi buku matematika, menggenggam pulpen dengan erat. Dia amati di sana bertengger angka-angka luar biasa menyakitkan kepala. Dia tutup lagi buku tersebut. Lalu segera mengambil IPA tapi tak ada yang bisa dia lakukan untuk menemukan kombinasi unsur-unsur pembentuk materi yang ditugaskan. Dia pun berpindah ke Bahasa Inggris dan hanya mendapatkan kejengkelan yang semakin memuncak. Malam itu, untuk pertama kalinya, kesabarannya habis.
Dia mengumpat. Memaki. Meludah ke tanah. Menyumpahi buku-buku pelajarannya. Diambilnya buku matematika dan dicabik-cabiknya tanpa ampun. Pelajaran sialan! Teriaknya dengan suara tertahan. Lalu diambilnya buku IPA dan Bahasa Inggris. Dirobeknya kedua buku tersebut sampai menjadi cabikan kecil. Kemudian dilemparkannya semua buku itu ke sudut rumah dengan kebencian menggelora. Tak terasa, air matanya meleler menggenangi pipi. Dia membenci semua hasil ulangannya. Terlebih lagi, dia membenci dirinya, membenci mengapa hanya untuk sedikit lebih baik dalam memahami pelajaran saja tidak bisa. Dia berharap agar orang tuanya memarahinya. Dia berharap agar bapaknya memukulinya, atau agar ibunya mencercanya. Membuat punggungnya bilur-bilur. Menjadikannya bahan ejekan tetangga. Dengan demikian dia akan merasa telah membayar semua kesalahan. Tapi orang tuanya terus menyayanginya, terus menyampaikan harapannya, terus menceritakan cita-citanya. Orang tuanya tidak pernah berhenti percaya dan berharap padanya. Itulah yang semakin membuatnya membenci dirinya.
Lambat laun, setelah tangis sesenggukannya reda, pikirannya kembali tenang, dia pun mendengar lagi suara pukulan-pukulan ringan tangan orang tuanya mengusir nyamuk. Di rumah itu hanya ada satu obat nyamuk bakar menyala, yaitu di dekat mejanya agar dia tidak terganggu saat belajar. Orang tuanya membiarkan diri mereka dimakan nyamuk setiap malam, tapi mereka tak pernah rela anaknya diganggu nyamuk saat belajar. Bocah itu pun kini gundah, dia baru saja merobek-robek bukunya. Dia tak bisa lagi belajar.
Pikiran-pikiran menakutkan kini menghantuinya. Orang tuanya menyekolahkan dirinya, membuatkan susu hangat saat ujian, menyediakan obat nyamuk saat belajar malam, bukanlah agar ia dengan tolol merobek-robek buku pelajaran. Dia pun panik. Segera dia turun dari kursinya, mencakup semua robekan kertas buku pelajarannya dan membawanya kebelakang rumah. Di sana, dia bakar tiga buku pelajaran itu. Kilatan api yang kuning menyala menari-nari di wajahnya. Dia menunggu sampai sobekan-sobekan itu hancur menjadi abu. Tak cukup hanya itu, dia menaburkan abu tersebut ke sekitar. Dia tak ingin orang tuanya tahu bahwa dia baru saja menghancurkan impian mereka. Walaupun itu hanya terjadi tak lebh dari lima belas menit, dia tak ingin orang tuanya tahu betapa anak kebanggaannya sangat mudah menyerah. Karena dia tahu sungguh menyaktikan hal itu bagi mereka berdua.
Setelah semua bersih, dia segera kembali ke kamarnya dan tidak meneruskan belajar. Dia ambil celengannya dan mengorek sejumlah uang cukup untuk membeli tiga buah buku. Esok harinya, dia berangkat ke sekolah lebih awal dan berusaha sesedikit mungkin menatap wajah orang tuanya, khususnya mata mereka. Walau mereka tak tahu apa yang telah terjadi semalam, walau tak ada satu orang pun yang memberi tahu mereka, tapi menatap mata kedua orang tuanya seakan bisa membongkar semua kejahatan yang dia sembunyikan. Hari itu dia tiga kali dihukum karena tidak mengumpulkan tiga PR. Dia bisa menerima semuanya. Dan sebelum pulang setelah jam pelajaran usai, dia meminjam buku matematika, IPA dan Bahasa Inggris pada temannya. Bocah itu telah memutuskan untuk membayar semua kesalahan yang telah dia buat. Dia akan menyalin semua pelajaran mulai dari semester pertama sampai semester ke dua.
Sesampainya di rumah, tidak dia tunjukkan buku-buku tersebut pada orang tuanya. Tentu saja. Dia bilang kalau ke tiga buku itu dikumpukan kepada guru maisng-masing. Walau pun hari itu terasa canggung dan tak nyaman tapi dia bisa melaluinya dengan baik. Sampai akhirnya malam tiba dan jam belajarnya datang. Malam itu dia tidak membca buku seperti biasanya, tapi menyalin buku temannya mulai dari halaman pertama sampai akhir. Dan, keajaiban itu pun terjadi. Inilah momen yang biasa kita sebut sebagai detik ketka doa terjawab dan dikabulkan. Malam yang penuh mukjizat.
Sementara dia menyalin, dia terkejut dengan kenyataan bahwa dia kini mulai memahami satu persatu apa-apa yang telah diajarkan gurunya yang sebelumnya tidak dia pahami, yang tadinya dia lupakan, yang tadinya tak dia mengerti sama sekali. Tiba-tiba semua itu menjadi demikian jelas dan terang. Dia pun semakin semangat menyalin. Terkadang dia menebak apa kira-kira yang akan dia temukan pada kalimat berikutya dan ternyata dia benar. Gairahnya meningkat demikian pesat sampai-sampai dia tidak sadar sudah hampir empat jam dia habiskan menyalin buku IPA. Untuk pertama kalinya dia merasakan kepuasan dalam belajar. Dia sama sekali tak merasakan lelah. Juga tak ada jenuh. Pun tak ada frustasi. Semua yang dia lakukan malam itu terasa demikian mudah dan demikian mencerahkan. Malam itu dia rampung menyalin IPA dan tidur dengan tekad akan menyalin buku Bahasa Inggris besok malam hanya dalam semalam. Dan, itulah yang terjadi, esok malamnya ketika dia menyalin pelajaran Bahasa Inggris, seperti sebuah keajaiban yang ditaburkan dari langit, tiba-tiba dia menyadari semua hal yang membuatnya tak paham selama ini, dia juga menemukan apa saja yang seharusnya dia pikirkan agar dia mudah memahami bahasa internasional tersebut, rumus dan kosa kata membombardir otaknya demikian cepat dan dia bisa menyerap semuanya. Bocah itu kini bisa berdiri tegak di kelasnya.
Tak ayal, guru dan teman-temannya dibikin kaget setengah mati ketika dia mengacungkan tangan untuk menyelesaikan soal membuat kalimat Bahasa Inggris di papan. Dia maju dan mengambil kapur yang dengan tak yakin diulurkan sang guru. Di belakang, teman-temannya terkikik dan saling berbisik. Bocah itu dengan tenang berdiri di depan soal. “make a sentence using one subject and two verbs”. Teman-temannya mulai tak sanggup menahan tawa. Gurunya geleng-geleng kepala menduga bahwa untuk memahami pertanyaannya saja pasti dia tak bisa. Tapi bocah itu maju satu langkah, kemudian, mulai menggoreskan kapur di tangannya. Sejenak semua hening dan tak lepas menatap gerakan tangannya. Kemudian, di papan hitam itu, tertulislah kalimat ini:
“I wrote a sentence and read it loudly”
Guru itu terdiam. Teman-temannya membaca dalam hati berulang-ulang. Mereka tak percaya dengan yang mereka saksikan. Tapi kemudian, tepuk tangan membahana ketika guru itu berteriak tak percaya: BENARRR!!! Kejutan pun dia pamerkan dalam pelajaran IPA dan Matematika. Dia yang paling semangat mengacungkan tangan ketika gurunya menanyakan apa saja contoh penyakit yang menular melalui sentuhan. Dia juga sekali lagi maju saat guru matematikanya memberikan soal di papan. Ketika guru-guru tersebut berkumpul di kantor, mereka membicarakan bocah tersebut dengan antusiasme yang luar biasa. Terjerat antara heran dan terkesima sementara guru lainnya penasaran dan tak percaya. Seorang guru IPS pun ingin membuktikannya sendiri. Tapi dia kecewa, karena bocah itu tetap saja seperti hari-hari sebelumnya. Dia tidak tahu apa-apa. Dengan agak menggerutu, guru IPS itu mengira dia sedang dikerjai guru IPA, MTK, dan Bahasa Inggris bersama-sama.
Kenyataan itu menjadi pencerahan terbaik dalam hidup bocah tersebut. Kini dia tahu apa masalah yang dia hadapi sepanjang hidupnya ini. Kini dia tahu apa sebenarnya yang membuatnya secara konsisten mendapatkan nilai di bawah 65. Sesungguhnya, bukan dia yang bodoh, atau otaknya yang kelewat bebal, tapi gaya belajarnya yang tak sesuai. Dia bukan tipe orang yang akan paham dengan mendengarkan ceramah, dia juga tak akan paham jika harus terus membaca, dia malah akan tambah bingung jika disuruh melakukan latihan yang panjang dan penuh angka berlekukan. Dia pun akan melupakan apapun yang diminta untuk dihapalkan. Tapi dia akan dengan mudah memahami dan mengingat apa saja yang harus dia pelajari dengan menyalinnya. Semua tulisan temannya di buku yang ia pinjam, baik itu materi pelajaran atau ulangan atau PR, dia salin ulang agar bisa memahaminya. Semua mata pelajaran dia salin ulang. Dari kelas tujuh sampai kini kelas delapan. Hasilnya, seperti yang aku yakin sudah kau duga, dia menjadi juara ke 4 ketika naik ke kelas Sembilan.
Berikutnya, dia lulus SMP sebagai salah satu lulusan terbaik di kabupatennya. Fotonya yang bersalaman dengan bupati dijadikan spanduk dan dipampang di gerbang sekolahnya. Orang tuanya menangis terharu ketika menyaksikan anak semata wayangnya itu naik ke pentas guna menerima penghargaan dari kepala skeolah. Dia masuk SMA tanpa membayar, beasiswa penuh sudah menunggunya bahkan beberapa SMA memintanya untuk bersekolah di sana. Sejak semester dua kelas sepuluh sampai kelas dua belas, dia selalu ranking satu. Dan dia termasuk lima terbaik lulusan SMA se-provinsinya. Kini, melanjutkan kuliah sama sekali bukan impian kosong baginya juga ke dua orang tuanya. Semua orang mengaguminya dan tiba-tiba merasa begitu dekat dengannya. Mereka menyebut namanya seakan mengenalnya. Karena dialah sang jagoan, anak miskin bodoh yang dengan mengagumkan telah membalik dunia hingga berjumpalitan. Tapi mereka salah. Mereka tak tahu semua hal tentang anak itu, mereka, kenyataannya, tak begitu mengenalnya, karena tak ada satu pun yang tahu bahwa di buku tulisnya, selalu ada dua catatan mata pelajaran yang sama. Satu dia tulis ketika duduk di kelas, satunya lagi dia salin dari buku temannya di kamarnya pada malam hari.
***
Sebenarnya, dia tidak selalu meminjam buku temannya untuk menyalin. Memasuki SMA dia mengembangkan tekniknya sendiri untuk menguatkan pemahaman dan ingatannya. Malam hari, dia akan duduk dan mencoba mengingat semua kata-kata gurunya dan menyalin semua yang dia ingat, kemudian mencocokkannya dengan catatan yang dia buat di kelas dan menambahi bagian-bagian yang kurang.
Kini, 15 tahun telah berlalu semenjak peristiwa menyalin buku untuk pertama kalinya itu, sang bocah telah menjadi pria dewasa dan menjabat sebagai CEO di sebuah hotel internasional yang berada Indonesia. Bahasa Inggris yang dulunya sangat asing baginya, kini dia fasih menggunakannya juga sedikit Bahasa Prancis yang sangat membantunya dalam melayani para customer elite yang kebanyakan dari Eropa dan Amerika. Sementara dia sibuk berkeliling dari ibu kota negara ke ibu kota propinsi, kedua orang tuanya tinggal di desa asal mereka dan sibuk beternak kambing. Bukannya dia menyingkirkan kedua orang yang berjasa itu, tidak, tapi begitulah caranya berbakti: dengan memenuhi apapun keinginan mereka tanpa memprotesnya sebagaimana mereka tak pernah memprotes nilainya yang jelek dulu sewaktu masih SD dan SMP. Dia tak memaksa orang tuanya agar tinggal di kota hanya agar mengukuhkan dirinya sebagai keluarga elit. Karena orang tuanya sama sekali tak mengerti bagaimana harus hdup di kota serumit dan sesibuk Jakarta. Dia tak memaksa keduanya untuk sekedar duduk di rumah mewah dan menonton televisi karena mereka lebih memilih untuk tinggal di rumah sederhana sambil beternak kambing di kampung.
Sebagai seorang pimpinan yang telah bertemu banyak orang penting dari seluruh benua, dia telah berhasil mempelajari satu ilmu penting yang sangat-sangat berguna: bahwa untuk membahagiakan orang tua tidak bisa dengan cara membawa mereka pada seluruh kemewahan dunia, tapi hanya dengan memberikan apa saja yang mereka minta agar bisa sibuk dan tak kesepian dalam hidupnya sehari-hari. Orang tuanya memilih untuk beternak, maka itulah yang dia sediakan. Setiap ada liburan dia akan berkunjung ke rumah orang tuanya dan dengan tekun akan menyimak cerita mereka bahwa keadaannya saat ini sudah mereka bayangkan jauh saat dia masih kanak-kanak. Bagaimanapun, dia percaya pada cerita kedua orang tuanya itu bahkan sebelum dia mengalaminya.
Satu hal yang dipelajarinya dari kisah hidunya sendiri adalah bahwa terkadang kita tampak bodoh bukannya karena kita memang bodoh, bukan pula karena otak kita yang lemah, atau karena kita tak memiliki orang tua yang cukup pintar untuk mengajari sejak kecil, bukan, tapi karena dua hal: kita kurang bekerja keras atau kita salah cara belajarnya. Ya, hanya dua itulah obat untuk kebodohan, bekerja keras (dalam belajar) serta belajar dengan cara yang benar. Kita kesulitan memahami suatu materi mungkin karena kita terlalu malas untuk mengulangnya lagi, atau, karena cara yang kita gunakan untuk menyerap materi tersebut tidak sesuai dengan cara yang dipakai otak kita. Maka, ketika kita sudah menemukan gaya belajar yang pas, dan kita tekun belajar dengan cara tersebut, sebuah lompatan prestasi quantum akan kita peragakan dengan memukau dan membanggakan.