PONDOK PESANTREN AL-QODIRI 1 JEMBER

LEMBAGA PENDIDIKAN BERBASIS PESANTREN

Ketik Kata Kunci

STUDI TENTANG SYAIKH ABDUL QODIR

Selasa, 24 September 2019, Selasa, September 24, 2019 WIB Last Updated 2019-09-25T00:15:43Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini
STUDI TENTANG SYAIKH ABDUL QQDIR
Re-written by: Fikri Farikhin
Akhir-akhir ini perhatian dan kecenderungan masyarakat terhadap tasawuf menjadi buku terlaris di pasaran. Kajian-kajian intensif tasawuf yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan sosial keagamaan menarik minat yang cukup tinggi dari kaum terdidik perkotaan. Para tokoh sufi dan lembaga tarekat ramai dikunjungi, tidak hanya oleh masyarakat pedesaan tetapi juga oleh golongan kelas menengah perkotaan. Di tengah derasnya arus modernisasi dan perubahan sosial budaya, tasawuf semakin dibutuhkan oleh masyarakat. Terlepas dari tujuan mereka meminati dunia tarekat tersebut, hal ini merupakan fenomena yang menarik sekaligus menolak anggapan bahwa tasawuf menjadi faktor penghambat pembangunan dan kemajuan masyarakat.
Sebagai sebuah gerakan -dalam sejarah dan perkembangannya- para sufi, menurut Gilsenan, dikategorikan dalam dua kelompok: pertama, sufi individualis yang terpanggil untuk mempraktikkan kehidupan asketis dan mistis, yang lewat karya-karyanya kemudian mereka dikenal oleh para generasi berikutnya. Acap kali para sufi juga dibesarkan oleh sejumlah pengikut yang menganggapnya sebagai special figure yang dapat mengikat mereka pada suatu aliran tertentu; kedua, para sufi yang diikat oleh suatu aliran tententu dan merupakan suatu persaudaraan (brotherhood) yang sering disebut dengan tarekat. Kadang-kadang suatu tarekat merupakan institusi semiformal yang bergerak di bidang sosial, ekonomi, bahkan politik. 
Dalam sejarah dan perkembangan masyarakat, sufisme merupakan dimensi Islam yang sangat kontroversial. Hakikat dan eksistensinya sering kali disalahfahami dan diremehkan. Secara teologis, ajaran-ajaran tasawuf oleh beberapa kalangan, terutama golongan yang mengklaim sebagai modernis, dipandang sebagai ajaran yang tidak berasal dari Islam sehingga penganutnya dapat dianggap musyrik, pengikut bid’ah, tahayul, dan khurafat. Secara sosial, tasawuf yang mengajarkan kehidupan asketis menjadi penghambat pembangunan dan kemajuan zaman sehingga tidak mengherankan kalau al-Ghazali dipandang bertanggung jawab atas ketertinggalan dan kemunduran umat Islam. Tuduhan dan kritik terhadap tasawuf memang sering kali tidak beralasan. Karena tuduhan dan kritik itu biasanya datang dari golongan yang tidak memahami tasawuf secara komprehensif dan mendalam, serta tidak melihatnya dari perspektif sufi. Secara teologis, sesungguhnya tasawuf memiliki dasar doktrin yang kuat di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Bahkan menurut Nurcholish Madjid, tasawuf jusru memiliki akar yang lebih kuat di dalam Al-Qur’an dibanding dengan syari’at. 
Bagi para sufi, sebetulnya sufisme dan syari’at tidak dipandang sebagai dua dimensi yang bertentangan, tetapi saling melengkapi satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Meskipun demikiam dalam sejarah dan perkembagan masyarakat memang terjadi pertentangan dan konflik antara kedua penganut dimensi Islam tersebut. 
Sufisme yang dianggap sebagai simbol kejumudan dan kepasifan juga merupakan kesimpulan yang over-generalisation. Karena dalam banyak kasus di dunia muslim, para sufi dan pengikut tarekat berperan aktif ikut berjuang melawan kaum kolonial. Misalnya, kelompok sufi al-Murabbithun. Di Indonesia, beberapa tarekat merupakan kelompok masyarakat yang ditakuti pemerintah kolonial Belanda karena gerakan-gerakan “pemberontakan” yang mereka lakukan. 
Martin Van Bruinessen adalah orang pertama yang menyajikan hasil studinya secara komprehensif mengenai mengenai beberapa tarekat di Indonesia. Kajian pertamanya (1992) khusus membahas aspek-aspek historis, sosiologis, dan geografis tarekat Naqsyabandiyah termasuk cabang-cabangnya di Indonesia. Sementara kajian yang kedua (1995) merupakan kumpulan berbagai artikel mengenai pendidikan Islam tradisional dan tarekat Qadiriyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah di Indonesia. 
Sebagaimana pendapat kebanyakan ahli sejarah Islam Indonesia bahwa proses islamisasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kontribusi dan peran penting para tokoh sufi. Bahkan, tidak sedikit yang melebihkan peran mereka dalam proses islamisasi, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah hanya aspek sufisme sajalah yang berkembang di Indonesia. 
Terkait hal tersebut, Victor Tanja berpendapat bahwa Islam yang mula-mula datang ke kepulauan Nusantara ialah Islam yang bercorak sufistik. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya sejarah walisongo sebagai penyebar agama Islam di pulau jawa. 
Dalam beberapa bagian bukunya, Dhofier mendeskripsikan beberapa tarekat yang berkembang di jawa tengah dan jawa timur sebagai salah satu aspek dari tradisi pesantren yang senantiasa dipertahankan dan dikembangkan. Sepuluh tahun kemudian, Azra mengkaji jaringan intelektual dan spiritual ulama Timur Tengah dan nusantara abad ke-17 dna ke-18 M., di mana tarekat merupakan salah satu wacana ilmiah dalam jaringan tersebut. Dalam waktu yang cukup lama kajian tasawuf di Indonesia masih didominasi oleh para ilmuwan Belanda yang kebanyakan mengikuti filologi. 
Tradisi ini kemudian diikuti oleh beberapa filolog Indonesia, baik dari universitas-universitas umum maupun dari perguruan tinggi Islam. Demikianlah beberapa tokoh sufi Nusantara dan karya-karyanya diteliti secara historis dan filologis, meskipun dominasi filologisnya lebih menonjol ketimbang aspek historis, sosiologis, dan antropologinya. Dalam konteks studi tersebut, ironisnya, gerakan tarekat Qadiriyah-naqsyabandiyah di Banten pada akhir abad ke-19 M., oleh kartodirdjo dipandang sebagai gerakan petani. 
Dalam beberapa tulisan, A.H. Johns seorang filolog Australia, mengatakan bahwa atas jasa para sufilah Islam menjadi sangat berakar dalam masyarakat Indonesia. Walaupun Islam sudah datang ke Indonesia sejak abada ke-8 M., namun konversi secara besar-besaran baru terjadi pada abad ke 13 M., melalui para sufi seiring dengan runtuhnya Baghdad ke tangan Mongol tahun 1258 M. 
Di Indonesia beramacam-macam tarekat telah masuk dan berkembang dengan subur. Meski tidak diketahui secara pasti tarekat mana yang pertama datang dan diikuti oleh orang Indonesia. Tokoh sufi terkenal, Hamzah Fansuri, diceritakan sebagai guru tarekat Qadiriyah. Ia sendiri banyak melakukan perjalanan di wilayah-wilayah Indoneisa, termasuk Jawa. Nuruddin ar-Raniri abadah penganut tarekat Rifa’iyah dan Aidarusiyah. Abdur Ra’uf as-Sinkili adalah guru tarekat Syattariyah yang memiliki seorang murid terkenal dari Jawa Barat, Abdul Muhyi. Dari jawa Barat tarekat tersebut menyebar ke jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan Syaikh Yusuf Taj al-Khalwati mengikuti berbagai macam tarekat  walaupun ia lebih terkenal sebagai guru tarekat Khalwatiyah. Pada periode berikutnya beberapa tarekat lain, yang tidak dapat disebutkan satu per satu, berkembang di Indonesia. Bahkan beberapa tarekat “lokal” mampu menarik sejumlah pengikut. Namun di antara tarekat-tarekat tersebut, tarekat Qadiriayahlah yang paling popular. Tarekat ini dinisbatkan pada nama besar SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang tokoh sufi yang mempunyai pengikut dan pengaruh besar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Ia dikenal sebagai penguasa parawali (Sulthan al-Auliya) dan pemuka para sufi (Imam al-Ashfiya). Jama’ah sufi yang dinisbatkan kepadanya (Qadiriyah) merupakan tarekat yang paling tua usianya dan paling luas daerah penyebarannya. 
Kepribadian al-Jailani yang amat mulia dan alim, membuat dirinya berkedudukan tinggi di lingkungan masyarakatnya. Ia seorang tokoh spiritual muslim yang benar-benar menghidupkan ruh Islam yang sejati, sehingga ia mendapat predikat muhyi ad-din (penghidup agama). Orientasi pemikirannya yang humanistik dan moderat membuat kepribadiannya yang cinta damai. Ia berhasil menyeru banyak orang, baik dari kalangan Kristen maupun yahudi untuk memeluk islam. Dari kehebatan dan sejumlah karomah yang dimiliki, ia banyak mendapat perhatian dan sanjungan, bahkan sampai pada pengultusan. 
Di samping sebagai tokoh sufi, al-Jailani juga seorang yang luas ilmu pengetahuannya. Ia dikenal sebagai ahli hukum (fiqh), ushul, dan kalam. Aktivitas kesehariannya hampir tidak pernah berhenti dari mengajar. Materi yang diajarkan kepada murid-muridnya meliputi: Tasawuf, Kalam, Ushul Fiqh, Hadits, dan Tafsir. Bahkan ia juga dikenal sebagi seorang sastrawan dengan bukti karya-karyanya, seperti, Futuh al-Ghaib; Fath ar Rabbani; Qashidah al-Ghautsiyah yang terhimpun dalam wacana-wacana. Al-Jailani adalah tokoh sufi yang memiliki kharisma dan pengaruh besar di kalangan umat Islam baik pada masanya maupun sekarang. Di kalangan persaudaraan tarekat Indonesia, misalnya, nama al-Jailani selalu disebut-sebut dalam berbagai kesempatan mengirim doa kepada arwah para leluhur untuk tujuan tawasul. Bahkan ada sebagian jama’ah tarekat yang merangkai kalimat tauhid dengan namanya: Lailaha illa Allah Muhammadu rasul Allah, Syaikh Abdul Qadir Jailani Waliyyu Allah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa al-Jailani adalah simbol spiritualisme besar di kalangan persaudaraan tarekat hingga saat ini. Wallahu a’lam 

Komentar

Tampilkan

Terkini

Followers