masukkan script iklan disini
AL-QODIRI DIUSIANYA YANG SEMAKIN TUA
Oleh :
Syamsuri
Prolog
Sejarah lama menyebutkan
bahwa pondok pesantren adalah salah satu tempat para pejuang yang ikut andil
dalam rangka mengawal kemerdekaan Indonesia. Dari orang pesantren pula jihad
dilegalkan dalam memerangi belanda, sehingga jika ada sejarah kemerdekaan
Indonesia, maka disitu pasti ada andil pesantren dalam pengawalannya. Akan tetapi dalam opini ini tidak akan
membahas bagaimana pesantren berkiprah dalam kemerdekaan bangsa ini, namum yang
menjadi pembahasan dalam opini ini adalah timpangnya fitrah pesantren al-qodiri diusia yang
diambang menua.
FAKTA
Pesantren al-qodiri yang
memiliki kekuatan profil manaqib yang menjadi kekuatan tersendiri dalam
kiprahnya dari tahun ketahun. Dengan adanya manaqib syekh abdul Qodir Al-Jaelani yang diimami
langsung oleh imam besar yaitu mudirul ma’ha al-syekh al-haj Ach. Muzakki
Syah. Dari situ daya tarik pesantren al-qodiri menjadi sangat kuat hingga
manca negara. Dengan latar belakang dzikir manaqib tersebut pesantren al-qodiri
memiliki aset jamaah bukan hanya lokal, namun hingga jamaah manca pulau bahkan
mancanegara. Ini adalah salah satu kebanggaan yang patut kita syukuri bersama
bahwa al-qodiri harum dikancah internasional. Namun demikian pesantren
al-qodiri bukan tidak memiliki ketimpangan kaki selama dalam sejarah
perjalanannya. Semua itu didapat dari susah payah sang pengasuh dalam
memikirkan bangsa dan negara melalui pesantren. Terbukti saat beliau silsilah
pasti tidak luput dari sebutan NKRI. Beliau juga menjadikan pesantren melalui
dzikir manaqibnya sebagai jembatan dakwah hingga mancanegara dan sekaligus
memperkenalkan bahwa bangsa Indonesia khususnya umat Islam adalah agama yang
anti terorisme, anti naekotika, dan anti radikalisme. Selain itu, pengasuh
yakni KH. Ach. Muzakki Syah menjadikan manaqib sebagai media atau wadah
pemersatu umat Islam dari berbagai suku, ras,budaya bahkan agama. Baik dari
dalam maupun luar negeri.
Dari kebanggaan-kebanggan
itu sekali lagi patut kita syukuri kepada yang Maha mengumpulkan segala
sesuatu. Akan tetapi pertanyaan besarnya adalah bagaiamana dengan sistem
pendidikan didalamnya....?
Ketika kita berbincang –
bincang dengan seseorang megenai pesantren, atau mendengar istilah pesantren
dari beberapa perkataan orang, maka yang terlintas pertama kali dalam benak kita adalah sebuah
tempat yang dimana disitu terdapat kiai dan santri dengan seabrek kitab-kitab
klasik yang menjadi pelajaran pokoknya. Itulah yang membedakan pesantren dengan lembaga
pendidika lainnya.
System
pendidikan dipesantren ini sekilas membuat kita bangga, dengan adanya santri
yang sering menjuarai berbagai lomba, dari pidato bahasa arab, inggris, hingga sak
debat-debate diringkus al-qodiri menjadi pemenang. Sontak kita bangga dengan
prestasi yang demikian. Nama al-qodiri lebih mencuat dimata interlokal hinnga
internasional. Subhanallah
Patut
kita bangga pula ketika kita menjadi tuan rumah dalam acara bahsul masail
sejawa-madura yang diselenggarakan pada tahun 2015 lalu, kemudian kebanggaan
lainnya adalah ketikak pesantren kita menjadi objek studi banding bahasa arab
beberapa tahun lalu, sungguh prestasi yang gemilang. Tapi disisi lain, kita
juga harus malu. Karean rupanya kita terlalu terlena sehingga kita tertidur
pulas dengan banyaknya kebanggaan-kebanggaan dan prestasi-prestasi yang pernah
didapat. Ternyata kita telah tertidur lama sehingga kita lupa bahwa sebenarnya
pesantren ini mengalami ketimpangan.
Ya
ketimpangan, ketimpangan apa… ? mari kita bangun kemudian berfikir. Ketika kita
menjadi tuan rumah acara besar bahsul masail tahun lalu, apa yang kita
lakukan..? kita hanya menjadi penyelenggara sekaligus penonton. Sadarlah bahwa
acara itu bukan acara tanggapan yang hanya bisa ditonton dan takjub dengan
kehebatan pesantren lain. Sekali lagi itu bukanlah ‘tanggapan’ yang hanya bisa
ditonton. Tidak hanya itu, bahkan kita sering mengirim beberapa perwakilan
santri sebagai peserta lomba baca kitab atau kajian kitab dalam bentuk yang
lain, kemudian apa yang kita lakukan, lagi-lagi menjadi sebagai penonton.
Tidak
cukupkah itu menjadi sebuah pukulan bagi kita semua. Tidak cukupkah hal itu
menjadi cambukan bagi kita. Kita terlalu terlena dengan hal-hal yang sifatnya
sebenarnya tidak telalu inti dalam kehidupan pesantren. Bahasa inggris dan
bahasa arab suatu misal. Keduanya sangat bagus diterapkan dalam pesantren
dengan tujuan untuk membuat santri tidak buta akan kehidupan luar yang semakin
maju. Akan tetapi keduanya itu hanya sebagai pelajaran penunjang. Dimana-mana
pesantren juga banyak menerapkan kedua bahasa asing itu, akan tetapi disisi
lain mereka juga diimbangi dengan kajian-kajian kitab kuning sebagai identitias
pesantren yang sebenarnya secara sangat intensif.
MASALAH
Baik jika
pertanyaan itu dilontarkan, maka mudah saja menjawabnya, kita jawab juga dengan
pertanyaan ? seberapa intenkah kajian kitab kuning dipesantren ini..? atau jika
ada yang alergi dengan kata-kata kajian kitab kuning, redaksinya dirubah
menjadi berapa jamkah kegiatan keagamaan dalam hal ini, majlis taklim dan
madrasah diniyah dipesatren ini jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga
umum….? Berapa orangkah ustad majlis taklim maupun madrasah diniyah yang telah menghatamkan kitab bersama
muridnya..? saya rasa itu fakta yang menyakitkan. Dan ironisnya dan yang
membuat saya menggelitik adalah mereka yang meski tidak tuntas pelajarannya
malah dinaikkan kelas, diluluskan bahkan diwisuda. Sungguh ini ironi yang kita
telan bersama.
Faktanya
wisuda adalah suatu seremonial sehingga para orang tua sekilas bangga anaknya
diwisuda. Karena dengan diwisuda pada saat itu seorang santri dibebani dengan tanggung
jawab pengamalan ilmu yang telah didapat.
Masalahnya
adalah adanya seremonial wisuda tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan
kemampuan santri dalam mengemban amanah yang diberikannya, karena memang pembelajaran
yang ditempuhnya tidak pernah ada yang tuntas dan hatam. Semua itu hanya
memainkan manipulasi transkip nilai yang tidak lain hanyalah angka. Sungguh saya
malu melihat sistem pendidikan yang demikian.
SOLUSI
Solusinya
adalah mudah saja, mari kita bangun dari tidur panjang kita, kemudia kita rubah
sedikit demi sediktit kita kembalikan fitrah pesantren yang sebenarnya. Hanya
itu yang saya dan mungkin semua orang harapkan, yaitu mengembalikan pesantren
yang besar ini pada wajah dan identitas aslinya. Karena ini adalah pesantren dan
bukana tempat les bahasa, kursus bahasa, dan kursus2 yang lainnya. Dengan
demikian jadikan pelajaran-palajaran itu hanya sebagai penunjang dan mari kita
intensifkan kajian-kajian yang seharusnya ada dan inti dipesantren. Yaitu
kajian kitab kuning.
*Penulis adalah santri dari pulau garam Madura