PONDOK PESANTREN AL-QODIRI 1 JEMBER

LEMBAGA PENDIDIKAN BERBASIS PESANTREN

Ketik Kata Kunci

AL-QODIRI DIUSIANYA YANG SEMAKIN TUA

Minggu, 24 Desember 2017, Minggu, Desember 24, 2017 WIB Last Updated 2017-12-24T17:03:10Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini


AL-QODIRI DIUSIANYA YANG SEMAKIN TUA

Oleh : Syamsuri

Prolog
Sejarah lama menyebutkan bahwa pondok pesantren adalah salah satu tempat para pejuang yang ikut andil dalam rangka mengawal kemerdekaan Indonesia. Dari orang pesantren pula jihad dilegalkan dalam memerangi belanda, sehingga jika ada sejarah kemerdekaan Indonesia, maka disitu pasti ada andil pesantren dalam pengawalannya.  Akan tetapi dalam opini ini tidak akan membahas bagaimana pesantren berkiprah dalam kemerdekaan bangsa ini, namum yang menjadi pembahasan dalam opini ini adalah timpangnya  fitrah pesantren al-qodiri diusia yang diambang menua.
FAKTA
Pesantren al-qodiri yang memiliki kekuatan profil manaqib yang menjadi kekuatan tersendiri dalam kiprahnya dari tahun ketahun. Dengan adanya manaqib syekh abdul Qodir Al-Jaelani yang diimami langsung oleh imam besar yaitu mudirul ma’ha al-syekh al-haj Ach. Muzakki Syah. Dari situ daya tarik pesantren al-qodiri menjadi sangat kuat hingga manca negara. Dengan latar belakang dzikir manaqib tersebut pesantren al-qodiri memiliki aset jamaah bukan hanya lokal, namun hingga jamaah manca pulau bahkan mancanegara. Ini adalah salah satu kebanggaan yang patut kita syukuri bersama bahwa al-qodiri harum dikancah internasional. Namun demikian pesantren al-qodiri bukan tidak memiliki ketimpangan kaki selama dalam sejarah perjalanannya. Semua itu didapat dari susah payah sang pengasuh dalam memikirkan bangsa dan negara melalui pesantren. Terbukti saat beliau silsilah pasti tidak luput dari sebutan NKRI. Beliau juga menjadikan pesantren melalui dzikir manaqibnya sebagai jembatan dakwah hingga mancanegara dan sekaligus memperkenalkan bahwa bangsa Indonesia khususnya umat Islam adalah agama yang anti terorisme, anti naekotika, dan anti radikalisme. Selain itu, pengasuh yakni KH. Ach. Muzakki Syah menjadikan manaqib sebagai media atau wadah pemersatu umat Islam dari berbagai suku, ras,budaya bahkan agama. Baik dari dalam maupun luar negeri.
Dari kebanggaan-kebanggan itu sekali lagi patut kita syukuri kepada yang Maha mengumpulkan segala sesuatu. Akan tetapi pertanyaan besarnya adalah bagaiamana dengan sistem pendidikan didalamnya....?
Ketika kita berbincang – bincang dengan seseorang megenai pesantren, atau mendengar istilah pesantren dari beberapa perkataan orang, maka yang terlintas pertama kali dalam benak kita adalah sebuah tempat yang dimana disitu terdapat kiai dan santri dengan seabrek kitab-kitab klasik yang menjadi pelajaran pokoknya. Itulah yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidika lainnya.
System pendidikan dipesantren ini sekilas membuat kita bangga, dengan adanya santri yang sering menjuarai berbagai lomba, dari pidato bahasa arab, inggris, hingga sak debat-debate diringkus al-qodiri menjadi pemenang. Sontak kita bangga dengan prestasi yang demikian. Nama al-qodiri lebih mencuat dimata interlokal hinnga internasional. Subhanallah
Patut kita bangga pula ketika kita menjadi tuan rumah dalam acara bahsul masail sejawa-madura yang diselenggarakan pada tahun 2015 lalu, kemudian kebanggaan lainnya adalah ketikak pesantren kita menjadi objek studi banding bahasa arab beberapa tahun lalu, sungguh prestasi yang gemilang. Tapi disisi lain, kita juga harus malu. Karean rupanya kita terlalu terlena sehingga kita tertidur pulas dengan banyaknya kebanggaan-kebanggaan dan prestasi-prestasi yang pernah didapat. Ternyata kita telah tertidur lama sehingga kita lupa bahwa sebenarnya pesantren ini mengalami ketimpangan.
Ya ketimpangan, ketimpangan apa… ? mari kita bangun kemudian berfikir. Ketika kita menjadi tuan rumah acara besar bahsul masail tahun lalu, apa yang kita lakukan..? kita hanya menjadi penyelenggara sekaligus penonton. Sadarlah bahwa acara itu bukan acara tanggapan yang hanya bisa ditonton dan takjub dengan kehebatan pesantren lain. Sekali lagi itu bukanlah ‘tanggapan’ yang hanya bisa ditonton. Tidak hanya itu, bahkan kita sering mengirim beberapa perwakilan santri sebagai peserta lomba baca kitab atau kajian kitab dalam bentuk yang lain, kemudian apa yang kita lakukan, lagi-lagi menjadi sebagai penonton.
Tidak cukupkah itu menjadi sebuah pukulan bagi kita semua. Tidak cukupkah hal itu menjadi cambukan bagi kita. Kita terlalu terlena dengan hal-hal yang sifatnya sebenarnya tidak telalu inti dalam kehidupan pesantren. Bahasa inggris dan bahasa arab suatu misal. Keduanya sangat bagus diterapkan dalam pesantren dengan tujuan untuk membuat santri tidak buta akan kehidupan luar yang semakin maju. Akan tetapi keduanya itu hanya sebagai pelajaran penunjang. Dimana-mana pesantren juga banyak menerapkan kedua bahasa asing itu, akan tetapi disisi lain mereka juga diimbangi dengan kajian-kajian kitab kuning sebagai identitias pesantren yang sebenarnya secara sangat intensif.
MASALAH
Baik jika pertanyaan itu dilontarkan, maka mudah saja menjawabnya, kita jawab juga dengan pertanyaan ? seberapa intenkah kajian kitab kuning dipesantren ini..? atau jika ada yang alergi dengan kata-kata kajian kitab kuning, redaksinya dirubah menjadi berapa jamkah kegiatan keagamaan dalam hal ini, majlis taklim dan madrasah diniyah dipesatren ini jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga umum….? Berapa orangkah ustad majlis taklim maupun madrasah  diniyah yang telah menghatamkan kitab bersama muridnya..? saya rasa itu fakta yang menyakitkan. Dan ironisnya dan yang membuat saya menggelitik adalah mereka yang meski tidak tuntas pelajarannya malah dinaikkan kelas, diluluskan bahkan diwisuda. Sungguh ini ironi yang kita telan bersama.
Faktanya wisuda adalah suatu seremonial sehingga para orang tua sekilas bangga anaknya diwisuda. Karena dengan diwisuda pada saat itu seorang santri dibebani dengan tanggung jawab pengamalan ilmu yang telah didapat.
Masalahnya adalah adanya seremonial wisuda tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan kemampuan santri dalam mengemban amanah yang diberikannya, karena memang pembelajaran yang ditempuhnya tidak pernah ada yang tuntas dan hatam. Semua itu hanya memainkan manipulasi transkip nilai yang tidak lain hanyalah angka. Sungguh saya malu melihat sistem pendidikan yang demikian.
SOLUSI
Solusinya adalah mudah saja, mari kita bangun dari tidur panjang kita, kemudia kita rubah sedikit demi sediktit kita kembalikan fitrah pesantren yang sebenarnya. Hanya itu yang saya dan mungkin semua orang harapkan, yaitu mengembalikan pesantren yang besar ini pada wajah dan identitas aslinya. Karena ini adalah pesantren dan bukana tempat les bahasa, kursus bahasa, dan kursus2 yang lainnya. Dengan demikian jadikan pelajaran-palajaran itu hanya sebagai penunjang dan mari kita intensifkan kajian-kajian yang seharusnya ada dan inti dipesantren. Yaitu kajian kitab kuning. 
*Penulis adalah santri dari pulau garam Madura
Komentar

Tampilkan

Terkini

Followers