masukkan script iklan disini
oleh : Fikri Farikhin, M.Pd.I
Konon ketika Kiai Hasyim telah menjadi pengasuh pesantren Tebuireng, Kiai Cholil Bangkalan juga pernah mengaji kepadanya. Ketenaran Kiai Hasyim sebagai Kiai yang alim, khususnya dalam bidang hadis, sampai ke telinga kiai Cholil. Pada bulan Ramadhan, Kiai Cholil rela datang dari Bangkalan madura ke Tebuireng Jombang hanya untuk belajar kepada muridnya, Kiai Hasyim.
Kiai Hasyim yang mengetahui gurunya, Kiai Cholil, datang ke pesantrennya, segera berusaha untuk menghormatinya. Beberpa santri disuruh mempersiapkan sebuah kamar untuk Kiai Cholil. Begitu kamar telah siap untuk ditempati, Kiai Hasyim segera menemui Kiai Cholil. Kiai Hasyim mengatakan, Kiai, mohon nanti istirahatnya di kamar yang telah dipersiapkan. Tidak usah tidur bersama santri lain.”
“Hasyim, di sini saya sebagai santri sebagaimana para santri yang lain. Jadi tidak usah kamu istimewakan. Di Bangkalan saya Kiai kamu. Di sini, kamu Kiai saya. Jadi, jangan diistimewakan. Saya akan makan dan tidur bersama para santri,” jawab Kiai Cholil sambil tersenyum.
“Tapi, Kiai Cholil tetap sebagai guru saya, kapan pun dan dimana pun, di Bangkalan maupun di Tebuireng,” kata Kiai Hasyim yang masih mencoba membujuk Kiai Cholil.
Kiai Hasyim mencoba merayu Kiai Cholil agar mau menempati kamar yang telah disediakan, namun Kiai Cholil terus menolak tawaran tersebut. Kiai Cholil merasa bahwa dirinya adalah murid Kiai Hasyim. Jika di Bangkalan, Kiai Cholil adalah gurunya Kiai Hasyim, maka ketika di Tebuireng, Kiai Cholil merasa sebagai murid dan Kiai Hasyim sebagai gurunya. Berbeda dengan Kiai Hasyim. Pengasuh pesantren terbuireng ini merasa sebagai murid Kiai Cholil kapan pun dan dimana pun. Baik di Bangkalan maupun di Tebuireng, dulu maupun sekarang.
Akhirnya dengan siasat yang cerdik tanpa mengurangi rasa hormat kepada Kiai Cholil, Kiai Hasyim mengatakan, “Kiai Cholil, kalau memang Kiai menganggap saya sebagai guru, maka saya memerintahkan kepada Kiai untuk tinggal di kamar yang telah dipersiapkan itu. Nanti pakaian Kiai akan cucikan. Dan akan diantarkan makanan untuk Kiai. Kalau Kiai menganggap saya saya sebagai guru, maka tentunya Kiai akan mematuhi perintah saya.”
Kiai Cholil pun akhirnya mematuhi “perintah” Kiai Hasyim.
Dan benar saja. Setelah beberapa waktu, Kiai Cholil memberikan bajunya untuk dicuci, baju tersebut diberikan oleh Kiai Cholil kepada khodamnya Kiai Hasyim. Dan setelah diberikan, maka khodam tersebut dipanggil oleh Kiai Hasyim.
“Kang, mana bajunya Kiai Cholil tadi?”
“Ini Kiai”. Dan ternyata, setelah bajunya diberikan, di bawa masuk ke kamar mandi dan di cuci sendiri oleh Kiai Hasyim. Luar biasa. Benar-benar murid yang sangat monghormati gurunya dan sangat tawadhu’.
Kiai Cholil Bangkalan dikenal sebagai Kiai kharismatik. Banyak kejadian aneh yang dirasakan oleh murid-muridnya ketika belajar kepadanya. Tampakanya Kiai Cholil mem-punyai metode tersendiri dalam mengajar santri, metode yang mungkin sulit dipahami oleh masyarakat pada umumnya.
Cerita ini dialami oleh Kiai Abdul Karim Lirboyo yang biasa dipanggil dengan Mbah Manab (nama kecil Kiai Abdul Karim). Kiai kelahiran magelang ini sebelum belajar ke Tebuireng, pernah belajar kepada Kiai Cholil Bangkalan. Mbah manab bukanlah tergolong dari keluarga kaya. Konon ketika berangkat ke Bangkalan, ia hanya dibekali uang untuk perjalanan ke Bangkalan. Sedangkan untuk biaya hidup di Bangkalan, ia harus bekerja mencarinya sendiri. Sebelum belajar kepada Kiai Cholil, Mbah Manab telah belajar ke beberapa pesantren di jawa timur.
Sampai di Bangkalan dia belajar sebagaimana santri yang lain. Ketika uang untuk makan sudah menipis, Mbah Manab bekerja kepada para petani yang sedang memanen padi (dalam bahasa jawanya “derep). Kemanapun ada kesempatan untuk bekerja mendapatkan uang, Mbah Manab akan menuju ketempat tersebut. Bahkan, konon Mbah Manab pernah sampai ke Banyuwangi untuk bekerja demi belajar kepada Kiai Cholil. Kita dapat membayangkan perjalanan yang begitu jauh dari Bangkalan ke banyuwangi lebih dari satu abad yang lalu. Jika uang yang dikumpulkan atau padi yang didapat dirasa cukup banyak, ia segera kembali ke Bangkalan untuk kembali belajar kepada Kiai Cholil.
Suatu ketika, Kiai Cholil memergoki Mbah Manab yang baru saja datang dari bekerja. Mbah Manab terlihat membawa bungkusan yang berisi padi atau beras. Kiai Cholil pun segera bertanya, “dari mana?”
“Berkerja, Kiai,” jawab Mbah Manab dengan penuh rasa hormat.
“Itu apa?” tanya Kiai Cholil sambil menunjuk bungkusan yang dibawa mbah manab.
“Padi,Kiai” jawab Mbah Manab dengan sikap hormat.
“Buat saya saja, ya?” pinta Kiai Cholil.
“Silahkan, Kiai,” jawab Mbah Manab sambil menyerahkan bungkusan tersebut.
Berikutnya, bungkusan yang berisi padi ini dibawa oleh Kiai Cholil. Mbah Manab pun memperhatikan akan dibawa kemana bungkusan tersebut. Ternyata, bungkusan tersebut dibuka dan padi di dalamnya diberikan kepada ayam-ayam milik Kiai Cholil. Mbah manab pun hanya diam saja memandang kejadian tersebut, tanpa ada perasaan benci apalagi dendam kepada sang guru yang sangat dihormatinya itu. Barangkali Mbah Manab ingat keterangan dalam kitab TA’LIM AL-MUTA’ALLIM, bahwasanya ALI BIN ABI THALIB pernah mengatakan, “aku adalah hamba (budak) nya orang yang pernah mengajariku, meskipun hanya satu huruf. Ia boleh tetap menjadikan aku sebagai budak atau memerdekakanku.” Apalah artinya sebungkus padi dibandingkan dengan ilmu yan telah diajarkan kiai Cholil kepadaku, begitu barangkali yang ada dalam pikiran Mbah Manab.
Cerita di atas adalah sebuah pelajaran bagaimana keikhlasan seorang santri di hadapan Kiaianya. Juga bagaimana Kiai Cholil yang menguji kesabaran santri dengan pelajaran yang tergolong aneh, unik, bahkan sadis. Andaikan kita berpikir negatif atau berburuk sangka, dapat saja kita mengatakan, bahwa Kiai Cholil adalah guru yang kejam tak berperasaan: padi hasil keringat santrinya yang bekerja kesana kemari ternyata diminta dan hanya dijadikan makanan ayam. Namun, Mbah Manab tidak mau berpikir nagatif, apalagi dendam kepada gurunya. Kesabaran dan keikhlasan adalah pelajaran di pesantren yang sulit kita dapatkan di tempat lain.
Lalu bagaimana dengan anda yang pernah menjadi santri?