masukkan script iklan disini
“pembajakan adalah pencurian”. Sepertinya semua orang di dunia setuju dengan statemen ini. Buktinya, di TV, Koran, radio, internet, orang pada ramai berseru untuk menentang pembajakan. Tapi apa mereka nggak pernah berpikir, bahwa pembajakan adalah “hak”?
Anda mungkin langsung berniat untuk melempar saya dengan kursi setelah mendengar pernyataan saya tadi. Tapi jangan keburu marah. tenangkan emosi anda, baca dan hayati dulu pledoi saya berikut ini. Sumpah, dari lubuk hati yang paling dalam saya tidak bermaksud menghasut anda untuk menjadi seorang pendukung pembajakan. Tapi setidaknya anda mempunyai kacamata yang berbeda dalam memandang masalah pembajakan ini.
“hidup di Indonesia itu enak. Pengen belajar apa aja bisa. Photoshop yang di luar negeri sana harganya jutaaan, di Indonesia bisa didapatkan cuman denan duit 3000. Begitiu juga dengan software –sofware yang lain. cukup pergi ke rental, cari katalog, terus bayar dengan 3000 perak tadi. Jadilah kita menguasai program-program itu.” Kata seroang teman suatu hari sambil menggerakkan mousenya – mengedit foto dengan photoshop. Ya, pembajakan memang menjadi sesuatu yang lazim di Indonesia.
Berdasarkan studi yang disponsori oleh Business Software Alliance (BSA), pada tahun 2005 Indonesia termasuk dalam tiga besar negara yang paling banyak melakukan pembajakan software setelah Vietnam dan Zimbabwe. Tahun 2004, Indonesia berada di peringkat keempat setelah China. Padahal, pembajakan di seluruh dunia kecenderungannya turun di 51 negara dari 97 negara yang disurvei selam tahun 2005. China yang pada tahun 2004 berada di peringkat ketiga dengan tingkat pembajakan 90 persen turun 4 poin seperti halnya Rusia dan Maroko, India turun 2 poin, dan Ukraina turun 6 poin.
Seperti lazimnya negara-negara dunia ketiga yang lain, Indonesia adalah negara dengan tingkat pertumbuhan enkonomi yang rendah, bahasa kasarnya Indonesia itu negara yang miskin. Nah, sementara itu penduduk Indonesia yang berekonomi pas-pasan, dipaksa untuk mengkuti arus modernisasi,. Lebih parah lagi pendidikan warganya juga masih jauh dibawah rata-rata penduduk dunia yang lain. walhasil, jalan yang oleh sebagian besar negara di dunia, terutama negara-negara pemilik modak, diaggap sebagai jalan sesat pun ditempuh; memabajak. Tak hanya software, buku-buku dan film buatan luar negeri juga menjadi sasaran para pembajak. Tapi –semoga bukan hanya saya berpikiran seperti ini- tidak semua tindakan membajak itu salah. *******
HAKI sebagai topeng kapitalis
Beberapa tahun yang lalu, sempat ramai diperbincangkan tentang Sheila on7 yang oleh beberapa pihak dituduh meniru sebuah lagu ciptaan Cat Steven yang berjudul Father and Son. Kalau kita amati, lagunya memang mirip. Tapi tahukah anda bahwa notasi yang ada di dunia ini hanya Do, Re, Mi, Fa, Sol, La, dan Si? Sementara itu, manusia sudah menciptakan lagu sejak manusia itu ada. Bilyunan jumlah lagu yang sudah tercipta. Jangankan mirip, sama persis pun bisa jadi. Lha wong nada dasarnya cuman ada tujuh. Kalau mau berbeda, suruh mereka menciptakan bebrapa nada baru –nada ke delapan sembilan, dan seterusnya- supaya para pencipta lagu nggak khawatir dituduh meniru lagi. Maka, mereka bisa lebih bebas berkarya.
Begitulah, sudah tak akan ada lagi musik yang orisinil di dunia ini. Segalanya hanyalah hasil reproduksi dari ciptaaan sebelumnya. Tak hanya musik, begitu juga dengan ciptaan-ciptaan manusia yang lain. maslahnya hanya siapa yang pertama kali mengklaim hasil karya itu sebagia karyanya.
Untuk bisa melakukan klaim atas sesuatu, seseorang harus memiliki otoritas. Karena yang berlaku di dunia sekarang ini adalah mekanisme kapital, maka yang memiliki otoritas atas segala sesuatu tentu saja adalah pemilik modal. Kemudian dibuatlah sebuah sistem yang disebut HAKI untuk melancarkan rencana besar “perampokan klaim” demi kekayaan diri sendiri. Agar konspirasi globall ini tidak kentara, maka ditutuplah wajah penipu bernama HAKI tadi dengan penghargaan atas hasil karya seseorang. Celakanya, kita sebagai negara dunia ketiga yang memang selalu menjadi objek negara kapital ini malah mengamini HAKI tanpa sadar bahwa HAKI adalah kepanjangan tangan dari proyek neo-liberal.
Penghargaan akan hasil karya seseorang menjadi tema sentral isu HAKI. Walaupun hal itu tidak lebih dari paradoksal plus ambiguitas proyek neo-liberal yang bermuka merkantilis. Sebuah neo-imperialisme bertopeng Hak Asasi Manusia.(lihat Apriwan Mandaro, Majalah Tegal Boto Edisi 08)
Akibatnya, kekayaan indonesia yang berupa kearifan lokal, banyak yang diklaim oleh negara kapital sebagai hasil karyanya. Karya yang seharusnya menjadi hak kita, harus kita nikmati dengan membayar royalti terlebih dahulu. Tempe, ukiran jepara, batik, sudah bukan lagi milik kita. Padahal siapapun tahu itu adalah hasil kearifal lokal bangsa indonesia sejak dulu kala. Jadi, salahkah bila kita membajak? Apa bedanya dengan mereka? Yang membedakan hanyalah bahwa mereka terlindungi dengan payung hukum. Tentu saja hukum yang menguntungkan mereka, karena merekalah yang mempunyai otoritas untuk membuatnya. Sementara kita sebagai obyek hukum hanya bisa gigit jari. Jangan-jangan nanti menyanyi Indonesia Raya pun kita harus membayar royalti. Bukan sebuah hal yang tidak mungkin, bukan? Inilah yang disebut oleh Brecher dan Costello sebagai global pillage (penjarahan global) yang dicangkokkan ke dalam global village (kampung global).
Kalau mereka boleh menjarah tempe kita, kenapa kita tidak boleh menjarah software, buku, atau film-film mereka? *******
Pembajakan dalam pendidikan.
Bila dikaitkan denga pendidikan, pembajakan akan menjadi isu menarik. Di atas sudah dipaparkan tentang bau busuk pemberantasan pembajakan yang terbalut parfum penghargaan intelektual. Sekarang kita akan lebih fokus kepada barang-barnag bajakan yang berkaitan dengan dunia pendidikan, software dan buku.
G. Aris Buntarman dari bagian pemasaran Penerbit Cakra Media mengatakan, pembajakan buku tidak mereda karena proses mencetak buku bajakan mudah. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk menghargai hak karya intelktual penulis dan penerbit juga masih rendah. “Pada masalah pembajakan buku, bukan masalah mana buku yang asli dan mana yang palsu. Di sini ada pencurian karya intelektual. Ini bisa membuat daya cipta jadi menurun karena ada kekhawatiran karya yang dihasilkan secar susah payah itu dengan mudahnya dibajak,” Kata Aris. (lihat Kompas, Sabtu, 3 maret 2007)
Kalau kita amati, sebenarnya ini sungguh menggelikan. Kok bisa-bisanya seorang penulis mengalami penurunan daya cipta Cuma karena takut tulisannya dibajak?. Kalau itu terjadi, berarti dia bukan seorang penulis sejati. Seorang penulis sejati akan mencurahkan selurauh pikiran, waktu, dan tenaganya untuk menulis, tanpa pernah berpikir apakah tulisannya akan laku dijual atau tidak, apalagi Cuma karena khawatir dibajak. Karena menulis pada dasarnya adalah murni sebuah proses intelektual, bukan ajang cari duit. Kalau mau cari duit ya jangan menulis buku, tapi jual buku, atau masuk ke pasar modal sana, biar sekalian jadi budak kapital. Menulis untuk cari duit adalah penghinaan terhadap dunia intelektual yang tak termaafkan. Jadi, pembajakan tidak akan pernah membunuh kreativitas seorang penulis.
Bagitu juga dengan pembajakan software. Akhir-akhir ini mulai ramai dibicarkan tentang penggunaaan e-learning sebagai alternatif pembelajaran di Indonesia. Untuk mewujudkannya tentu saja diperlukan berbagai sarana baik berupa hardware maupun software. Nah, faktanya, ternyata banyak lembaga pendidikan termasuk juga LSM di Indonesia yang memakai software bajakan. Apa tindakan pemerintah? Hati-hati, sebentar lagi polisi atau PPNS (Pejabat Pegawai negeri Sipil) bisa saja masuk ke kantor Anda untuk melihat komputer yang anda pakai, apakah menggunakan peragkat lunak ilegal atau tidak. Kalau anda tertangkap basah menggunakan perangkat lunak (software) ilegal untuk kepentingan komersial, maka sejumlah pasal maut siap memaksa anda untuk membayar denda dan/atau masuk penjara. Ancamannya tidak main-main, pidana maksimal lama tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 5 Miliar. Kalau ana memperbanyak lagu atau film, ancamannya pidana maksimal tujuh tahun dan/atau denda maksimal Rp 7 Miliar.(lihat wartaekonomi.com, senin 21 juli 2003)
Beginilah jadinya bila pemerintah tak lagi memikirkan nasib warganya. Ia lebih memikirkan Microsoft, macromedia, Corel, Adobe, dan sederet perusahaan kapital lainnya. Sementara itu, warganya sendiri yang sudah terpuruk dalam kemiskinan masih juga harus terperosok ke dalam lembah kebodohan hanya karena tidak mampu membeli software asli. Betapa sangat disayangkan!
Namun jangan khawatir. Masih ada harapan untuk kita. Karena ternyata masih ada yang berbaik hati untuk menempuh resiko melakukan pembajakan dengan segala ancaman pidana yang mengancam dibelakangnya. Dengan begitu, si Amat, anak pegawai rendahan itu tetap bisa mengerjakan tugas membuat makalah dari gurunya dengan Microsoft Word tanpa harus terbebani dengan biaya membeli Software asli yang harganya sama dengan 3 kali gaji bapaknya. Long life piracy.
(disarikan dari MAJALAH TEGAL BOTO, 2007)